Selasa, 30 November 2010

Menanti Ketegasan Sikap Pemerintah

Kasus Sumiati seorang TKW yang mulutnya digunting oleh majikannya serta tewasnya Kikim Komalasari seorang TKW asal Cianjur – Jawa Barat yang dibunuh oleh majikannya di Arab Saudi menunjukkan bahwa derita kekerasan masih terus mengancam para TKW yang bekerja di luar negeri.

Kasus kekerasan yang menimpa para TKW yang bekerja di luar negeri mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dari waktu ke waktu masih saja terjadi kasus yang sama. Mulai dari kekerasan terhadap fisik, tindakan pelecehan seksual (perkosaan), hingga bahkan pembunuhan terhadap TKW oleh majikan ataupun atasannya. Tidak jarang pula yang mengalami kekerasan psikis, seperti ancaman hingga gaji yang tidak kunjung diberikan walaupun telah memenuhi pekerjaan. 

Walaupun demikian berat resiko yang harus dihadapi, faktanya setiap tahun jumlah TKW Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri tetap saja tinggi. Secara umum banyak factor yang mendorong para TKW memutuskan bekerja di luar negeri walaupun berat resikonya. Di samping karena kegagalan Pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan “yang layak” di dalam negeri, hal itu juga didorong oleh iming-iming gaji yang lebih tinggi jika bekerja di luar negeri. Sehingga setiap tahun tetap banyak TKW yang nekad bekerja di luar negeri, baik itu melalui jalur legal maupun illegal.

Pada umumnya para TKW tersebut bekerja di sector informal atau sebagai pembantu rumah tangga. Sehingga rentan sekali terhadap tindakan kekerasan maupun pelecehan seksual yang dilakukan oleh majikannya. Dan itulah yang kerap kali dialami para TKW Indonesia. Di sisi yang lain diantara para TKW itu juga terkadang memang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi TKWdi luar negeri. Namun tetap nekad berangkat melalui jalur-jalur yang tidak resmi (illegal). Jika sudah begitu, ketika terjadi masalah di Negara yang dituju, tentu akan sulit dalam mengurusnya. 

Ironisnya Pemerintah terkesan selalu telat dan lambat dalam menangani berbagai kasus kekerasan yang menimpa para “pahlawan devisa” itu. Pemerintah baru bertindak setelah kasus kekerasan terjadi dan mencuat di berbagai media. Sementara itu nasip TKW yang menjadi korban sudah sangat memprihatinkan. Sikap Pemerintah ini sebaiknya perlu dirubah, jangan bertindak latah setelah kejadian. Maka langkah ke depan Pemerintah harus selalu memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan para penyokong devisa Negara yang terbesar itu. Jangan sampai terjadi kecolongan lagi terhadap TKW lainnya.

Dalam hal ini Pemerintah harus berani bersikap lebih tegas dengan memaksa negara-negara dimana terdapat TKW dari Indonesia untuk bersama-sama menandatangani nota perjanjian (MoU). Melalui MoU itu Pemerintah harus menuntut adanya jaminan keselamatan terhadap para TKW Indonesia yang berada di luar negeri. Pemerintah juga harus berani memberikan semacam sanksi tegas terhadap Negara-negara yang bersangkutan. Misalnya saja dengan membayar sejumlah denda atau penghentian penyaluran TKW ke Negara tersebut. Sebab ini menyangkut harga diri sebuah bangsa. Masyarakat kini benar-benar menantikan ketegasan sikap Pemerintah tersebut.

Senin, 15 November 2010

Perlu Adanya Perbaikan Sistem

Saat ini jika kita cermati pendidikan di Indonesia masih saja dihadapkan pada banyak permasalahan yang begitu rumit dan kompleks. Banyak kasus dan penyimpangan-penyimpangan yang semakin menggurita di tubuh pendidikan kita. Berbagai indicator pun menggambarkan betapa masih rendahnya mutu pendidikan kita di mata dunia. Di sisi lain terdapat seabrek permasalahan internal yang sampai sekarang ini belum juga terpecahkan.

Permasalahan-permasalahan tersebut terjadi hampir pada seluruh tataran pendidikan kita, baik pada tataran makro maupun mikro. Dan itu tersebar mulai dari masalah kurikulum dan guru sampai pada masalah desentralisasi serta otonomi pendidikan. Belum lagi soal rendahnya moralitas output pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, kastanisasi atau privatisasi pendidikan, dsb. Dalam hal ini termasuk di dalamnya masalah pro-kontra UN yang belum juga menemukan titik temu.

Semua itu menunjukkan betapa carut-marutnya dunia pendidikan di Indonesia. Atau bahasa kasarnya dunia pendidikan yang “amburadul”. Jika diruntut tentu ada banyak factor yang menyebabkan carut-marutnya dunia pendidikan kita saat ini. Dengan kata lain tidak mungkin ada api tanpa ada asap. Menurut pandangan penulis amburadulnya pendidikan di Indonesia lebih disebabkan oleh kesalahan pada sistem pendidikan nasional kita. Dimana sekarang ini sisdiknas yang ada terbukti gagal menghasilkan output pendidikan yang berkualitas serta bermoral. Di samping itu sisdiknas kita saat ini belum mampu beradabtasi dengan tuntutan zaman. Dandi luar itu masih banyak keganjilan-keganjilan lain pada sisdiknas kita.

Maka dari itu solusi bijak dalam membenahi dunia pendidikan kita adalah dengan mereformasi pendidikan itu sendiri, terutama peninjauan kembali sistem pendidikan nasional kita. Sebab itulah akar persoalan dari ambudarulnya pendidikan kita. Ibaratnya sistem itu adalah jantung dari sebuah proses pendidikan. Jika jantungnya saja mengalami kelainan tentu proses yang terjadi menjadi tidak normal seperti semestinya. Jadi intinya perbaiki dahulu sistem pendidikan nasional kita. Idealnya sistem pendidikan nasional kita harus proaktif, fleksibel, demokratis serta berkeadilan.

Perang Melawan Nepotisme

Praktik nepotisme di Indonesia memang sudah ada sejak masa orde baru, dimana saat itu pejabat strategis didominasi oleh keluarga dan kolega-kolega penguasa. Hingga kini praktik-praktik nepotisme tersebut terus tumbuh subur bagaikan jamur di tubuh NKRI, dan semakin menggurita dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Bahkan kini praktik-praktik nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan pejabat, namun juga dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat kita secara berjamaah. Ini membuktikan bahwa tindakan nepotisme sudah mendarah daging atau membudaya pada masyarakat kita umumnya.

Praktik nepotisme memang tidak begitu nampak jelas seperti tindakan korupsi ataupun kolusi. Namun jika terus dibiarkan ini akan menjadi semacam bom waktu bagi bangsa Indonesia. Boleh dibilang bahwa nepotisme merupakan musuh dalam selimut di tubuh NKRI. Maka perang melawan segala praktik nepotisme di tanah air adalah sebuah keharusan yang amat mendesak kita lakukan bersama.

Perang melawan nepotisme memang tidak semudah yang dibayangkan. Namun paling tidak harus ada komitmen bersama dalam wujud tindakan nyata untuk melawan segala bentuk praktik nepotisme. Dan itu semua bisa berhasil manakala diawali dengan niatan yang tulus dari masing-masing pribadi kita.

Perang Melawan Nepotisme

Praktik nepotisme di Indonesia memang sudah ada sejak masa orde baru, dimana saat itu pejabat strategis didominasi oleh Keluarga Cendana dan kolega-kolega militer Pak Soeharto. Hingga kini praktik-praktik nepotisme tersebut terus tumbuh subur bagaikan jamur di tubuh NKRI, dan semakin menggurita dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Bahkan kini praktik-praktik nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan pejabat, namun juga dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat kita secara berjamaah. Ini membuktikan bahwa tindakan nepotisme sudah mendarah daging atau membudaya pada masyarakat kita umumnya.

Praktik nepotisme memang tidak begitu nampak jelas seperti tindakan korupsi ataupun kolusi. Namun jika terus dibiarkan ini akan menjadi semacam bom waktu bagi bangsa Indonesia. Boleh dibilang bahwa nepotisme merupakan musuh dalam selimut di tubuh NKRI. Maka perang melawan segala praktik nepotisme di tanah air adalah sebuah keharusan yang amat mendesak kita lakukan bersama.

Perang melawan nepotisme memang tidak semudah yang dibayangkan. Namun paling tidak harus ada komitmen bersama dalam wujud tindakan nyata untuk melawan segala bentuk praktik nepotisme. Dan itu semua bisa berhasil manakala diawali dengan niatan yang tulus dari masing-masing pribadi kita.

Selasa, 09 November 2010

Mahasiswa Siaga Bencana

Bencana alam yang terjadi silih berganti pada akhir-akhir ini memang menuntut gerak cepat dari berbagai pihak; mulai dari pemerintah (baik daerah maupun pusat), Bazarnas, BNPB, LSM, lembaga-lembaga pemerintahan, serta seluruh warga masyarakat yang ada. Bencana alam yang terjadi sekarang ini seringkali tidak dapat diprediksi. Contohnya letusan gunung merapi di Sleman-Yogyakarta dan tsunami di Mentawai. Tidak bisa dipungkiri negara kita ini memang termasuk wilayah yang sangat rawan akan bencana alam. Untuk itu perlu selalu ada kesiagaan dari berbagai kalangan. Kesiagaan Pemerintah saja terbukti tidak cukup efektif dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam di tanah air. Dalam hal ini tentu perlu adanya partisipasi serta peran serta aktif dari para mahasiswa.

Ketika bencana alam datang silih berganti seperti sekarang ini, para mahasiswa harus siap turut serta aktif dalam penanganan bencana di tanah air. Baik itu diminta maupun atas keikhlasan dan kesadaran diri. Kita sebagai mahasiswa harus menjadi mahasiswa yang siaga bencana, dalam artian tanggap jika suatu waktu terjadi bencana. Bukan justru menyelamatkan diri sendiri saat bencana terjadi, namun sebagai mahasiswa harus turut berperan aktif dalam melakukan evakuasi terhadap para korban bencana. Atau paling tidak para mahasiswa bisa menjadi relawan maupun koordinator di lokasi bencana.

Di sisi lain kita para mahasiswa juga bisa berpartisipasi sebagai dermawan. Tentu bukan seberapa besar jumlah uang atau nilai barang yang disumbangkan. Namun yang lebih penting adalah keikhlasan berbagi dan nilai guna dari apa yang kita sumbangkan itu. Bisa berupa makanan, pakaian, obat-obatan, dsb. Sebagai mahasiswa yang memiliki banyak jaringan kita juga bisa menjadi relawan/coordinator dalam pengumpulan dana bantuan untuk para korban bencana alam di tanah air. Bisa melalui posko-posko mahasiswa ataupun aksi penggalangan dana di masyarakat.

Politik Ala Mahasiswa

Pada setiap dinamika kebangsaan yang terjadi di tanah air mahasiswa memang hampir tidak pernah absen untuk turut berperan aktif di dalamnya. Itu semua merupakan wujud nyata darma mahasiswa terhadap bangsa dan Negara. Apalagi sebagai kaum intelektual mahasiswa juga menyandang gelar sebagai agen perubahan (agent of change). Dalam hal ini ada dua tanggungjawab besar yang harus diemban oleh seorang mahasiswa, yaitu tanggungjawab akademik dan tanggungjawab sosial. Tanggungjawab akademik terkait dengan tanggungjawab pengembangan dunia keilmuwan serta penerapannya dalam masyarakat. Tanggungjawab akademik menuntut mahasiswa untuk belajar sesuai dengan bidang keilmuwan yang diambilnya. Sedangkan tanggungjawab sosial mahasiswa tidak bisa dipisahkan dengan peran mahasiswa sebagai agent of change.

Dalam menjalankan peran sebagai agent of change idealnya tugas seorang mahasiswa tidak hanya menyerukan gerakan perubahan semata, namun juga gerakan-gerakan pembaharuan yang inovatif dalam wujud nyata. Dan untuk mencapai semua itu tidak bisa dilepaskan dari ranah politik. Kita pun masih ingat dengan jelas betapa melalui kekuatan politik para mahasiswa berhasil menumbangkan hegemoni dan rezim otoriter yang berkuasa waktu itu. Maka jika ditanya “haruskah mahasiswa berpolitik?”, menurut pandangan penulis pribadi ya mahasiswa memang perlu “berpolitik”. Politik ala mahasiswa tentu harus dibedakan dengan politik “ala” anggota dewan yang hanya berorientasi kekuasaan dan kesejahteraan kelompoknya semata. Politik ala mahasiswa idealnya berorientasi pada gerakan politik nilai dan moral.

Mahasiswa sebagai actor utama gerakan politik nilai dan moral dapat memainkan dua peran penting sekaligus, yaitu control social dan social pressure. Posisi mahasiswa sebagai kontrol sosial terkait tanggungjawab mahasiswa dalam ikut serta mengawasi dan mengawal jalannya demokrasi serta kepemimpinan politik. Dalam hal ini bukan berarti mahasiswa haus akan kekuasaan, namun lebih pada memainkan peran agar demokrasi dan politik tetap berjalan pada rel yang semestinya. Sedangkan sebagai social pressure mahasiswa memainkan peran menjadi tekanan sosial atas segala ketidakadilan serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.

Jadi menurut pandangan penulis seorang mahasiswa memang perlu belajar “berpolitik”. Di samping sebagai sebuah pembelajaran, berpolitik dalam artian gerakan nilai dan moral yang dilakukan oleh mahasiswa saat ini sangat diperlukan untuk mengawal jalannya demokrasi di tanah air. Gerakan politik nilai dan moral ini bisa diwujudkan melalui beberapa hal, misalnya; orasi budaya, demonstrasi yang beretika, kritik melalui tulisan, dll. Gerakan politik ala mahasiswa idelnya gerakan yang berbasis moral dan intelektual. Sehingga harus cerdas serta tetap mengedepankan etika.