Jumat, 06 Mei 2011

Revitalisasi Pendidikan Karakter

“Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”, itulah subtema Hari Pendidikan Nasional tahun ini. Yang tema utamanya adalah “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa”. Ini menunjukkan adanya upaya Pemerintah untuk mentasbihkan kembali hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Ki Hajar Dewantoro pada jauh-jauh hari. Menurut Ki Hajar Dewantoro pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan jasmani anak didik.



Pada realitasnya kini pendidikan di Indonesia masih jauh dari apa yang dicitakan oleh Ki Hajar Dewantoro tersebut. Kekerasan dalam pendidikan masih terjadi. Plagiarisme dan jual-beli ijazah sudah menjadi rahasia umum. Bahkan berbagai kasus perjokian kembali mewarnai pelaksanaan Ujian Nasional tahun ini. Ironisnya ada oknum guru di beberapa sekolah tertentu yang turut berkompromi dalam kasus perjokian tersebut. Ini tentu tidak saja telah mencoreng martabat bangsa namun juga sangat bertentangan dengan hakikat pendidikan itu sendiri.

Kompleksitas persoalan moral dalam dunia pendidikan menjadi salah satu alasan pentingnya pendidikan karakter bagi bangsa ini. Terlebih lagi akhir-akhir ini banyak gerakan berbasis ideology yang mencoba menyusupkan pemikiran-pemikiran sesat kepada para generasi muda Indonesia. Ada yang melalui “cuci otak” atas nama gerakan NII, hingga bahkan beberapa berhasil terekrut menjadi teroris. Ini mengindikasikan belum maksimalnya implementasi pendidikan karakter di sekolah dan perguruan tinggi. Lemahnya legitimasi nilai budi pekerti dalam dunia pendidikan memang masih menjadi salah satu tantangan bagi tercapainya pendidikan karakter.

Melalui peringatan Hardiknas ini bisa kita jadikan sebagai moment untuk bersama-sama merevitalisasi gerakan pendidikan karakter bangsa. Maka dari itu setiap lembaga penyelenggara pendidikan jangan hanya mengejar prestasi akademik ataupun akreditasi semata. Namun juga wajib menjunjung tinggi budi pekerti sebagai landasan dalam meraih prestasi tersebut; seperti kejujuran, kedisiplinan, kerjasama, dsb. Dalam mendorong terwujudnya pendidikan karakter harus dimulai dengan adanya tauladan yang baik dari para pendidik. Seperti semboyan Ki Hajar Dewantoro; “Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani”.

Jumat, 14 Januari 2011

Kita Bukan Bangsa Pemalas!

Pada akhir-akhir ini disadari atau tidak kita seringkali memilih jalan terobos yang tidak terlalu beresiko, ketimbang harus bekerja keras dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Entah itu dalam kompetisi sepak bola, kenaikan jabatan, meraih popularitas dan dalam banyak hal lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa mainstream bangsa kita saat ini telah terkontaminasi cara berfikir pragmatis. Segala sesuatunya ingin serba cepat dan praktis tanpa resiko yang berarti. Jika terus dibiarkan ini akan menjadikan kita sebagai bangsa yang pemalas. Selalu berharap keinginannya cepat terwujud atau meraih sesuatu dengan cara-cara instan. Berpikir instan membuat bangsa ini tidak lagi menghargai adanya kerja keras dan bisa mematikan kreativitas bangsa.

Ironisnya lagi budaya instan ini sudah kita jalani sejak masa sekolah dan terus berlanjut hingga kuliah. Contohnya saja budaya copypaste karya orang lain yang kerap kali dilakukan oleh mahasiswa di kampus. Atau kebiasaan mencontek saat ujian sebagai konsekuensi dari malas membaca. Ini menunjukkan tradisi kompetisi secara sportif semakin luntur.

Untuk itulah mari kita bersama merubah kembali mainstream bangsa ini. Kita bukan bangsa yang pemalas! Kita adalah bangsa yang tangguh, pantang menyerah dan menghargai kerja keras seperti yang telah dicontohkan oleh nenek moyang kita.

Telah dimuat di Kompas

Hukum “Rimba” Indonesia

Jika mencermati berbagai kasus penegakkan hukum yang terjadi di tanah air belakangan ini menunjukan fakta yang amat memprihatinkan. Penegakkan hukum di negeri ini masih setengah-setengah dan seringkali mengabaikan nurani. Selain itu juga terkesan lambat, tebang-pilih, dan bisa dipolitisasi.

Hukum yang semestinya menjamin tegaknya keadilan dan mengayomi masyarakat, justru terkesan menjadi hukum “rimba”. Dimana yang lebih kuat maka dialah yang dimenangkan. Atau bisa diibaratkan hukum “rimba” Indonesia itu seperti pisau. Tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Ini tentu menjadi sebuah “PR” besar bagi pemerintah khususnya para aparat penegak hukum di negeri ini. Hukum harus ditegakkan sebagaimana mestinya dan didasari nurani. Supremasi hukum di Indonesia harus ditegakkan kembali demi terwujudnya rasa keadilan.