Minggu, 16 Mei 2010

Pendidikan (untuk) Kaum Miskin

Pendidikan (untuk) Kaum Miskin

 sumber gambar : klinik Fotografi KOMPAS

Di dalam Undang-Undang telah disebutkan dengan gamblang bahwa pendidikan adalah hak setiap bangsa, setiap warga. Namun sepertinya idealitas itu tidak senafas dengan realita di lapangan. Pendidikan yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh warga Negara justru menjadi arena diskriminasi yang tampak semakin nyata. Tidak setiap warga bisa menikmati kenyamanan dalam pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan masih saja mendali masalah klise yang dihadapi bangsa ini.

Selama ini penulis melihat masih tampak jelas adanya kesenjangan di dalam dunia pendidikan kita ini. Sepertinya kaum pinggiran (kurang mampu) masih saja menjadi korban atas keadaan ini. Warga dari keluarga tidak mampu seakan harus bergigit jari untuk memimpikan sekolah yang baik dan menyediakan fasilitas lengkap pula. Haruskah mereka berhenti meraih impian di masa kecil seperti menjadi dokter, insinyur, polisi, guru, atau lainnya, hanya karena keterbatasan menembus "tembok mahal" sekolah-sekolah bermutu. Untuk sekedar bisa menikmati bangku sekolah, kaum miskin harus puas menitipkan impian anak-anak mereka pada lembaga pendidikan dengan kualitas yang apa adanya. Sekolah ternama, hanya teruntuk orang kaya. Penulis melihat adanya RSBI, SBI, SSN, dan sebagainya itu seolah justru semakin mengokohkan fakta adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan kita. RSBI, SBI, SSN dan apapun itu namanya dengan alasan peningkatan mutu pendidikan dsb itu menurut penulis perlu dikaji ulang Pemerintah.

Melihat masih banyaknya masyarakat miskin di Indonesia perlumenjadi perhatian kita semua. Kita para “MAHASISWA” pun harus tahu akan adanya kenyataan ini. Jangan sampai kita para “agent of change” hanya mementingkan ego kita sebagai kaum akademik. Data mayarakat miskin di negeri “lumbung padi dunia” ini amat memprihatinkan. Data Badan Pusat Statistik merilis bahwa angka kemiskinan hingga Maret 2010 masih berkisar 14,15 persen atau sekitar 32, 53 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia. Angka itu tidak mengalami penurunan dari bulan Maret 2009. Sungguh ironis sekali kawan…

Karena akses terhadap sumber ekonomi umat miskin sangat terbatas, akumulasi kapital mereka pun rendah. Daya beli jelas tidak sebanding dengan kaum urban kota kaya yang memiliki penghasilan tetap. Dengan analogi itu, untuk memasukkan anak mereka ke sekolah elit, masyarakat miskin jelas kelimpungan. Bisa kita bayangkan sekedar untuk makan saja mereka harus banting tulang, peras keringat, dan menahan lelah. Masyarakat miskin pun masih banyak yang kekurangan gizi, bagaimana mungkin membuat anak mereka cerdas.

Terkadang penulis merasa miris, ketika melihat masih begitu banyak anak-anak miskin yang tidak bisa menikmati bangku sekolah. Contohnya saja penulis sering menjumpai anak-anak yang pada jam pelajaran justru harus bekerja menjadi pemulung di sudut-sudut kota Yogyakarta. Ironis sekali di negeri yang sangat kaya akan sumber daya alamnya ini justru masih banyak generasi yang belum bisa menikmati bangku sekolah.
Meskipun dana dari pemerintah yang dibuat untuk pengembangan kualitas pendidikan telah mencapai angka 20 persen dari jumlah APBN, tak serta merta hal itu membuat penduduk miskin bisa menikmati manisnya pendidikan. Biaya sekolah memang banyak yang digratiskan, namun "biaya tambahan,dll" untuk menunjang proses belajar di sekolah, masih membutuhkan keringat banyak agar terpenuhi. Itulah kisah derita para masyarakat miskin Indonesia yang hidup di negeri dimana terdapat sejumlah orang terkaya yang tujuh di antaranya masuk dalam jajaran 258 manusia terkaya dunia versi majalah Forbes pada tahun ini. 

Di sini kita bisa melihat adanya kesenjangan sosial menganga antara orang miskin dan orang kaya di negeri ini. Hal ini akan terus lestari dan semakin menjamur manakala tidak ada penanganan serius dari kita semua. Imbasnya, seolah pendidikan hanya milik orang-orang kaya. Mereka para kaum kaya serasa berhak mendapatkan kecerdasan dan kepintaran yang lebih baik dan berkualitas. Sementara orang miskin, kelas ekonomi menengah ke bawah, hanya bisa menelan ludah kebodohan dan kesengsaraan. 

Melalui tulisan ini Penulis ingin mengajak para pembaca sekalian baik itu PEMERINTAH, kawan-kawan “agent of change”, dan seluruh masyarakat INDONESIA untuk BANGKIT. Mari lakukan gerakan untuk membebaskan manusia dari jerat kegelapan dan kebodohan. Pendidikan harus mampu menjadi motor penggerak pembebasan masyarakat dari segala kebodohan dan kemiskinan, bukan justru membelenggu masyarakat. Begitu juga dengan kebijakan pendidikan (ayo ni buat kawan-kawan mahasiswa AKP UNY), mengapa selama ini kebijakan dalam pendidikan tidak membebaskan orang dari jeratan kemiskinan? Yang bebas hanya orang kaya, karena punya kuasa sosial dan modal ekonomi, sementara kita melihat masyarakat miskin makin miskin dan tertindas. Humanisasi dalam pendidikan punharus didasari keimanan (nurani). Hal ini agar sistem pendidikan tidak mendewakan pada kepentingan manusia semata, namun juga kepentingan bersama untuk keselamatan di dunia maupun alam setelah kematian tiba. Dengan keimanan, akan terbangun tanggungjawab moral bersama, tidak individualis dan tidak mengejar materi dunia semata. MARI BANGKIT BANGSAKU!

LIHATLAH kawan! Ini benar-benar terjadi di negeri kita tercinta ini. Dan itu tak kan kita lihat manakala hanya nongkrong di bangku kampus, atau mungkin kongkow bersama teman-teman di MALL. TEGAKAH kita melihat kawan-kawan saudara setanah air kita menderita dihimpit kemiskinan seperti saat ini. Inilah saatnya kita para “MAHASISWA” khususnya, mari bersama-sama membuka mata hati kita. Bersyukurlah kita bisa berdandan keren, tampil cantik dan tampan, duduk di bangku kampus, menikmati dinginnya ruangan kelas ber-AC, dan fasilitas-fasilitaas lainnya. Sementara mereka para saudara-saudara kita yang miskin, harus berjuang hidup di jalanan hanya demi sesuap nasi untuk bertahan hidup. Saatnya “OPEN YOUR HEART, OPEN YOUR MIND”

INI BUKAN SENSASI! INGAT Keterbatasan dan Ketidaknyamanan terkadang justru membuat kita menjadi semakin “KRITIS dan BIJAKSANA”

Ditulis oleh Cipta Cinta Damai AD99
Citizen Journalism ANGKATAN DAMAI

Tulisan ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta
Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa se-izin dan lisensi dari penulis Cipta Cinta Damai AD99