Selasa, 24 Juli 2012

Nikah Butuh Rencana, Jangan Coba-Coba!

Kata orang nikah itu enak, nikmat, dan menarik datangnya rezeki. Terbukti tidak sedikit orang yang ketagihan nikah berkali-kali dengan pasangan yang berbeda pula (wah-wah, kalau ini sih namanya apa hayo? :p). NIKAH, itulah cita-cita dan impian hampir semua orang dewasa yang normal. Konon, belum lengkap dan sempurna rasanya hidup seseorang di dunia ini sebelum ia menikah alias berkeluarga. Right? 

Nikah, selain enak dan nikmat (berdasarkan pengalaman orang-orang yang sudah mengalaminya) ternyata juga banyak manfaatnya loh. Dari sudut pandang agama, nikah mampu menghindarkan kita dari fitnah dan perbuatan zina. Bahkan dalam Islam pernikahan merupakan fitrah manusia. Dari segi kesehatan (biologi), hubungan seksual pasangan suami-istri (yang telah disahkan melalui pernikahan) mampu meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh, terlebih menghindarkan seseorang dari berbagai penyakit kelamin. Di samping itu orang yang sudah menikah biasanya akan mengalami peningkatan gizi. Dari segi psikologi, pernikahan antara sepasang kekasih yang saling mencintai, akan menimbulkan rasa bahagia. Pernikahan juga bertujuan menjaga keberlangsungan keturunan serta populasi manusia. 

Yap, nikah itu memang banyak sekali manfaatnya. Tentu dengan catatan, pernikahan yang legal secara hukum maupun agama. Dan pastinya tidak ada paksaan atau intimidasi, alias didasari rasa saling mencinta. Namun dalam hal ini mesti hati-hati juga loh! Nikah itu butuh rencana, jangan asal ada kemauan, apalagi nafsu sesaat. Jangan sampai enak dan nikmatnya nggak seberapa, tapi mesti menanggung derita selamanya. Wah-wah, siapa yang rugi coba? Hehehe… Nikah yang tanpa rencana, kerap kali berakhir penderitaan dan penyesalan. Yang lebih fatal lagi bisa berujung pada perceraian (amit-amit ya…). Seperti halnya banyak kasus yang kerap kita temui di masyarakat. Misallkan saja, pernikahan usia dini gara-gara pihak perempuan hamil duluan. Ada pula pernikahan usia dini yang dipaksakan oleh orang tua ataupun dijodohkan (biasanya terjadi di pedesaan atau keluarga yang otoriter). Ada lagi, korban nikah muda gara-gara faktor ekonomi, misalkan untuk menutupi lilitan hutang (kebanyakan pihak wanita yang jadi korbannya). Dan masih banyak lagi kasus-kasus sejenis lainnya. 

Nah, kita pun dapat pelajaran berharga dari kasus-kasus di atas, bahwa nikah itu butuh rencana. Seperti halnya program yang dicanangkan oleh BKKBN, jadilah GenRe (Generasi Berencana). Gnerasi muda mesti memiliki rencana yang matang dalam hidupnya, termasuk dalam menyiapkan pernikahan. Perencanaan tersebut meliputi kapan usia akan menikah, dengan siapa akan menikah, mau punya berapa anak, sudah siapkah secara lahir dan batin mencukupi kebutuhan keluarga nantinya, dan seterusnya. Kita tahu nikah itu bukan cuma soal pemenuhan kebutuhan biologis (nafsu seksual). Nikah itu juga menyangkut tentang bagaimana memenuhi kebutuhan hidup, bertahan hidup, menyelaraskan jiwa dua insan manusia, mendidik anak, hidup bermasyarakat, dan seterusnya. 

Lalu benarkah nikah itu enak dan nikmat? Jawabannya relatif! Bisa bahagia atau justru derita. Bisa enak dan nikmat atau justru kepedihan dan penyesalan. Apa yang membedakannya? Itulah rencana! Jika sebuah pernikahan itu dilandasi dengan cinta dan perencanaan yang matang, tentu akan menimbulkan efek yang positif bagi kehidupan kedua mempelai. Orang menikah itu kan ingin bahagia, hidup sejahtera bersama orang yang dicinta sampai akhir hayat. Yang mesti kita ingat, nikah itu bukan mainan, nikah itu sesuatu yang sakral, dan harapannya tentu cuma sekali dalam seumur hidup. Jadi kalau belum siap betul, sebaiknya ya jangan coba-coba!

IPK yang Bikin Kaya, Mau?

Siapa bilang mahasiswa itu cuma bisa demo? Tahunya kampus, perpus, kos-kosan, pacaran atau kalau nggak ya nongkrong di mall. Minta uang bulanan sama ortu menjadi pekerjaannya. Kegiatannya sehari-hari belajar, belajar dan terus belajar guna mengejar Indeks Prestasi Komulatif (IPK)? Kini anggapan itu tidak sepenuhnya berlaku. Terlebih bagi mereka para mahasiswa yang berjiwa entrepreneurship. Mahasiswa-mahasiswa kategori ini (entrepreneurship) tidak hanya mengejar IPK dalam artian Indeks Prestasi Komulatif. Namun mereka juga telah mampu memiliki IPK dalam artian Indeks Pendapatan Komulatif. Alias pendapatan pribadi hasil kerja keras sendiri. Wow, mari beri applause! Hehehe… 

Dulu mungkin masih banyak orang yang meremehkan mahasiswa dari segi ekonominya. Misalkan saja saat seorang mahasiswa cowok apel di rumah ceweknya. Biasanya ortu si cewek bakalan nanya: “Maz udah kerja dimana?”. Nah kalau kalian jawab “maaf om/tante saya masih kuliah kok”. Kemungkinan ortu si cewek kalau nggak nyuruh masuk anaknya, ya si cowok yang bakalan diusir sambil bilang “Belajar aja dulu yang rajin sono maz, biar cepet lulus. Kalau udah lulus dan dapet kerjaan baru ngapelin anak saya lagi”. Gubrakkk… Tapi itu dulu kok, dulu banget…nget… Saya pun dapet kisahnya dari ortu. Beda sama zaman sekarang. Yang mana konon katanya sudah era emansipasi mahasiswa. Hehehe… 

Tapi bagi kalian para mahasiswa yang tetep ngotot ingin “status sudah bekerja” saat ngapelin pacarnya kini banyak caranya kok. Jadi saat acara ngapel di rumah sang pacar kan nggak malu-malu lagi tuh. Berstatus sebagai tukang bakso nampak lebih keren ketimbang mesti ngaku sebagai mahasiswa pengangguran. Betul? Upz, tapi jangan keras-keras bacanya ya. 

Berikut beberapa cara menjadi kaya dengan memiliki IPK (Indeks Pendapatan Komulatif) sejak masih mahasiswa: Pertama, kerja part time. Yaitu bekerja paruh waktu yang waktunya bisa disesuaikan dengan kegiatan perkuliahan. Ada banyak sekali contohnya. Semisal, jaga warnet, jaga rental komputer, jaga game center, jaga toko/mini market, dan seterusnya. Kedua, jualan pulsa, syukur-syukur bisa buka counter sekalian. Model bisnis jualan pulsa kini memang semakin menjamur. Namun yang membutuhkannya juga semakin banyak. Jadi mesti mampu bersaing dan memiliki nilai lebih. Ketiga, jual jasa. Misal pengetikan, jasa angkut, potong rambut, cleaning service, even organizer, penerjemah, dan seterusnya. Keempat, bimbingan belajar, les privat, atau kursus. 

Kalau kamu mahasiswa yang memiliki ketrampilan khusus yang bisa dibagi dan mampu mengajar, apa salahnya dicoba. Keenam, jual ketrampilan. Ini mirip-mirip sih dengan jual jasa. Misalkan saja kamu mahasiswa yang suka ngotak-atik mesin, barang-barang elektronik, komputer ataupun HP. Bisa tuh buka layanan service barang elektronik atau magang di bengkel. Ketujuh, jadi penulis. Nih pekerjaan yang bisa dibilang gampang-gampang susah. Namun kalau sudah dijalanin dan menghasilkan uang dijamin bakalan ketagihan. Misalkan saja honor menulis di koran lokal bisa berkisar antara 100rb-300rb per tulisan yang dimuat. Tergantung medianya dan kualitas atau jenis tulisan yang dimuat (cerpen, opini, puisi, resensi, dst). 

Kedelapan, buka usaha kuliner ataupun cemilan. Seperti halnya gerai makanan khas daerah, outlite cemilan unik, warung makan unik & klasik, aneka jajanan khas berbau tradisional, dst. Terbukti kok banyak pengusaha muda Indonesia yang sukses lewat jalan bisnis kuliner, seperti halnya pendiri usaha Tela-Tela. Kesembilan, buka usaha foto copy, percetakan & desain grafis. Terbukti, kesuksesan mas Saptuari lewat bisnis Kedai Digital dan Jogist-nya. Tapi untuk dua bisnis ini memang membutuhkan modal dan keberanian yang ekstra. 

Itulah beberapa peluang usaha yang bisa dijalankan oleh mahasiswa untuk memiliki Indeks Pendapatan Komulatif sendiri tanpa bergantung kepada kiriman orang tua. Di samping tentunya masih banyak lagi peluang-peluang lainnya yang bisa dikerjakan tanpa mengganggu Indeks Prestasi Komulatif. Misalkan saja aneka produk kreatif dan inovatif buah karya mahasiswa. Ternyata menjadi kaya sejak mahasiswa dengan memiliki Indeks Pendapatan Komulatif itu tidak mustahil. Bahkan mudah bagi mereka yang berjiwa kreatif dan entrepreneurship. Siapa tahu wisuda nanti bisa meraih dua IPK sekaligus. Pertama Indeks Prestasi Komulatif “Camlaude”. Dan kedua Indeks Pendapatan Komulatif MM, “Milyarder Muda”. Ayo siapa berani mencoba?