Selasa, 18 Mei 2010

BUKU (sebagai) MENARA PERADABAN

BUKU (sebagai) MENARA PERADABAN

Tanggal 17 Mei merupakan Hari Buku Nasional. Namun ironisnya masih saja banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya, boro-boro memperingatinya. Berbeda dengan hari-hari besar lainnya seperti Valentine Day yang walaupun jauh-jauh hari telah dipersiapkan secara matang untuk menyambut perayaannya. Bisa dibilang aneh dan menggelikan, namun itulah kenyataan yang terjadi pada masyarakat kita ini. Sepertinya buku belum menjadi kebutuhan dalam kehidupan masyarakat, bahkan sering kali disepelekan. Entah karena deraan krisis ekonomi yang masih menyelimuti bangsa ini, sehingga buku belum menjadi kebutuhan yang diperhitungkan atau karena memang masih rendahnya minat baca masyarakat kita. 

Padahal selama ini sejarah mencatat bahwa hampir seluruh tokoh besar perubahan dunia merupakan para penggila buku. Seperti Abraham Licoln, John Quicy Adams, dan JF Kennedy; mereka merupakan diantara mantan pemimpin-pemimpin besar Amerika Serikat yang gila buku. Inggris pun pernah memiliki pemimpin legendaris Winston Schruchill yang maniak buku; dan India memiliki pemimpin besar Jawaharlal Nehru yang kutu buku. Keteladanan mereka dalam hal membaca buku telah tertular secara meluas pada rakyatnya. Hingga pada akhirnya ketiga negara itu sekarang tercatat sebagai penghasil buku terbesar di dunia. Ini menunjukkan begitu dahsyatnya peranan buku dalam membangun peradaban suatu bangsa.

Dalam sejarah juga mencatat pernah ada seorang pemimpin yang dapat berkuasa secara penuh dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu Firaun. Dan ternyata Firaun membangun kekutannya bukan hanya ditopang oleh kekuatan militer yang besar, akan tetapi dia sendiri merupakan seorang intelektual yang memiliki sekitar 20.000 koleksi ”buku” di perpustakaannya. Dalam konteks nasional, kita dapat melihat hampir semua pahlawan kemerdekaan adalah para kutu buku. Para pahlawan nasional juga rata-rata adalah para pecinta buku. 

Lembaran hidup para pahlawan kita hampir tidak bisa dipisahkan dari lembaran-lembaran naskah buku yang Beliau baca dan tulis pada masa hidupnya. Belum pernah tercatat dalam lembaran sejarah ada seorang pemimpin besar yang sukses tanpa buku. Bung Karno, Bung Hatta, Adam Malik, Agus Salim, Tan Malaka merupakan sebagian diantara founding fathers NKRI yang sangat menggandrungi buku. Mereka juga menulis buku serta memberikan kontribusi besar bagi perubahan dunia. Bahkan Bung Hatta menjadikan buku sebagai istri pertamanya. Saking cintanya pada buku, konon Bung Hatta memberikan mas kawin kepada Ibu Rahmi (sang istri) berupa dua jilid buku karangannya sendiri.

Tidaklah berlebihan jika mengatakan bahwa buku sebagai menara peradaban. Sebab dari buku peradaban manusia semakin berkembang dan maju. Dunia tanpa buku adalah kegelapan. Peradaban tanpa buku akan menjadi rapuh dan menuju kehancuran. Sebagai kekuatan budaya, buku adalah aliran darah bagi keberlangsungan suatu bangsa. Buku juga merupakan guru yang paling baik karena ia tidak akan pernah jemu menggurui kita. Melalui buku, seluruh hasil cipta, karsa, dan karya manusia dapat dilestarikan dan abadi dalam sejarah.

Dalam perkembangan peradaban manusia, buku memang memiliki kekuatan yang dahsyat. Kendati demikian, kedahsyatan buku tentu tidak akan ada apa-apanya jika benda tersebut hanya dipajang dirak-rak perpustakaan, tidak pernah disentuh dan dibaca. Inilah masalah yang sedang bangsa kita hadapi saat ini, “Rendahnya Minat Baca Masyarakat”. Padahal keadaan dunia perbukuan merupakan sebuah indikator utama maju tidaknya suatu bangsa. Kini, buku sedang menjalani sebuah kisah yang memilukan di negeri tercinta ini. “Menara Peradaban” itu kini sedang terkoyak diterjang badai kegelapan. Badai kegelapan itu akan segera berakhir manakala kita semua sadar dan mau menjadi Masyarakat Pembaca.

Bangsa ini harus bercermin dari Negara Jepang yang kemajuan IPTEK dan kemakmurannya sulit ditandingi. Kecerdasan anak-anak Jepang menempati tingkat tertinggi di dunia.Satu hal yang wajib kita perhatikan adalah tingginya minat baca masyarakat Jepang. Bahkan membaca sudah menjadi kebutuhan pokok bagi para masyarakat di Jepang. Artinya, bagi orang Jepang, sesantai apa pun kegiatan yang sedang mereka tekuni, membaca tetap menjadi suatu kebutuhan layaknya kebutuhan makan dan minum sehari-hari. Namun, sebaliknya, bagi orang Indonesia, sesantai apa pun kegiatan yang tengah ditekuni, membaca belum dijadikan suatu kebutuhan. Pendek kata, rendahnya budaya baca buku masyarakat perlu dianggap sebagai persoalan serius dan segera dicarikan solusinya.

Entah kapan kita mampu membangun kondisi di mana buku dibaca karena dipercaya mampu mendatangkan faedah yang besar untuk kemajuan hidup. Entah kapan para mahasiswa kita menjadi pecandu buku karena percaya dengan banyak membaca mereka anak berkembang menjadi orang pandai. Jawabnya, kalau masyarakat Indonesia sudah yakin bahwa buku ternyata sudah berhasil membimbing kemajuan dunia. Sayang keyakinan seperti itu hanya ada pada masyarakat yang mau sungguh-sungguh belajar dari sejarah. Dan sejarah kita membuktikan bahwa kita kurang suka membaca buku.