Setiap memasuki tahun ajaran baru dalam pendidikan, hampir bisa dipastikan selalu menyisakan berbagai permasalahan yang masih saja terjadi di dalamnya. Para orangtua murid pun dibuat cemas dan sedih dengan semakin melambungnya “harga pendidikan” yang seolah tidak mau kalah dengan kenaikan harga TDL dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya. Rasanya kini semakin sulit mencari sekolah yang tetap idealis dan merakyat. Nampaknya virus kapitalisme global benar-benar telah berhasil menjangkit sistem pendidikan kita sekarang ini. Sehingga membangkitkan hasrat komersialisasi di dalam pendidikan melalui berbagai cara dan media (alat).
Sejumlah kasus pungutan biaya sangat tinggi oleh beberapa sekolah yang marak terjadi pada setiap tahun ajaran baru menjadi bukti nyata adanya komersialisasi di dalam tubuh pendidikan kita. Apalagi pungutan biaya sangat tinggi yang liar itu untuk sejumlah kebutuhan sekolah yang sesungguhnya tidak substansial dalam proses pendidikan. Salah satu kasus yang cukup mencengangkan akhir-akhir ini yaitu pungutan biaya seragam sekolah yang sangat tinggi, bahkan ada yang mencapai Rp 1,8 juta per siswa. Ini tentu sangat memprihatinkan, karena disamping memberatkan para orangtua atau wali murid, otomatis juga akan menutup kesempatan bagi kaum miskin yang sejatinya memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan berkualitas.
Seragam sekolah pada awal digulirkannya memang memiliki tujuan yang mulia, yakni untuk menghapus kesenjangan sosial-ekonomi antar siswa. Sehingga tidak timbul kecemburuan sosial antara siswa yang kaya dengan siswa yang berasal dari kelurga kurang mampu. Akan tetapi saat ini tujuan mulia dari seragam sekolah telah menyimpang menjadi alat eksklusivitas sekolah. Buktinya kini dalam satu sekolah saja setiap siswa memiliki banyak jenis seragam beserta atribut dan aksesoris pelengkap lainnya. Hal ini tentu menuntut biaya pungutan cukup besar yang ditanggungkan kepada para wali siswa. Padahal banyaknya seragam beserta atribut/aksesorisnya itu tidak ada korelasinya terhadap esensial proses pendidikan. Justru menimbulkan eksklusivisme di dalam dunia pendidikan kita.
Gejala eksklusivisme di dalam sistem pendidikan kita semakin tampak jelas dengan berkembangnya pendidikan saat ini yang sarat akan kriteria, penolakan, serta pengabaian terhadap karakteristik dan keunikan setiap siswa peserta didik. Sekolah pun cenderung mengelompokkan dan mengkotak-kotak para siswa sesuai dengan kriteria tertentu yang sarat adanya diskriminatif. Apalagi ditambah dengan makin menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional. Ini tentu bertentangan dengan konstitusi kita yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Namun dengan adanya gejala eksklusivisme yang terjadi di sekolah dan dalam sistem pendidikan kita sekarang ini, jika terus dibiarkan akan menghambat terwujudnya pemerataan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh warga negara Indonesia.
Pada akhirnya segala bentuk pengkomersialisasian pendidikan dan mewabahnya gejala eksklusivitas dalam sekolah merupakan sebuah masalah krusial pendidikan yang harus segera dituntaskan. Untuk itu pemerintah perlu membuat kebijakan yang mampu mengakhiri segala bentuk praktik komersialisasi pendidikan yang semakin menjamur itu. Terkait masalah seragam, sebaiknya pemerintah mengeluarkan regulasi yang secara tegas mengatur tentang pengadaan seragam serta hal-hal yang terkait di dalamnya. Dan untuk pihak sekolah, sebaiknya seragam dibuat seperlunya saja. Artinya seragam tidak perlu banyak-banyak dan kelihatan mewah, namun bisa dibuat lebih sederhana dan terjangkau oleh semua kalangan. Tentu pihak sekolah juga harus melalui musyawarah terlebih dahulu dengan para wali siswa.