Sabtu, 31 Juli 2010

Menggugat Eksklusivisme Pendidikan

Setiap memasuki tahun ajaran baru dalam pendidikan, hampir bisa dipastikan selalu menyisakan berbagai permasalahan yang masih saja terjadi di dalamnya. Para orangtua murid pun dibuat cemas dan sedih dengan semakin melambungnya “harga pendidikan” yang seolah tidak mau kalah dengan kenaikan harga TDL dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya. Rasanya kini semakin sulit mencari sekolah yang tetap idealis dan merakyat. Nampaknya virus kapitalisme global benar-benar telah berhasil menjangkit sistem pendidikan kita sekarang ini. Sehingga membangkitkan hasrat komersialisasi di dalam pendidikan melalui berbagai cara dan media (alat). 

Sejumlah kasus pungutan biaya sangat tinggi oleh beberapa sekolah yang marak terjadi pada setiap tahun ajaran baru menjadi bukti nyata adanya komersialisasi di dalam tubuh pendidikan kita. Apalagi pungutan biaya sangat tinggi yang liar itu untuk sejumlah kebutuhan sekolah yang sesungguhnya tidak substansial dalam proses pendidikan. Salah satu kasus yang cukup mencengangkan akhir-akhir ini yaitu pungutan biaya seragam sekolah yang sangat tinggi, bahkan ada yang mencapai Rp 1,8 juta per siswa. Ini tentu sangat memprihatinkan, karena disamping memberatkan para orangtua atau wali murid, otomatis juga akan menutup kesempatan bagi kaum miskin yang sejatinya memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan berkualitas.

Seragam sekolah pada awal digulirkannya memang memiliki tujuan yang mulia, yakni untuk menghapus kesenjangan sosial-ekonomi antar siswa. Sehingga tidak timbul kecemburuan sosial antara siswa yang kaya dengan siswa yang berasal dari kelurga kurang mampu. Akan tetapi saat ini tujuan mulia dari seragam sekolah telah menyimpang menjadi alat eksklusivitas sekolah. Buktinya kini dalam satu sekolah saja setiap siswa memiliki banyak jenis seragam beserta atribut dan aksesoris pelengkap lainnya. Hal ini tentu menuntut biaya pungutan cukup besar yang ditanggungkan kepada para wali siswa. Padahal banyaknya seragam beserta atribut/aksesorisnya itu tidak ada korelasinya terhadap esensial proses pendidikan. Justru menimbulkan eksklusivisme di dalam dunia pendidikan kita.

Gejala eksklusivisme di dalam sistem pendidikan kita semakin tampak jelas dengan berkembangnya pendidikan saat ini yang sarat akan kriteria, penolakan, serta pengabaian terhadap karakteristik dan keunikan setiap siswa peserta didik. Sekolah pun cenderung mengelompokkan dan mengkotak-kotak para siswa sesuai dengan kriteria tertentu yang sarat adanya diskriminatif. Apalagi ditambah dengan makin menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional. Ini tentu bertentangan dengan konstitusi kita yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Namun dengan adanya gejala eksklusivisme yang terjadi di sekolah dan dalam sistem pendidikan kita sekarang ini, jika terus dibiarkan akan menghambat terwujudnya pemerataan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh warga negara Indonesia.

Pada akhirnya segala bentuk pengkomersialisasian pendidikan dan mewabahnya gejala eksklusivitas dalam sekolah merupakan sebuah masalah krusial pendidikan yang harus segera dituntaskan. Untuk itu pemerintah perlu membuat kebijakan yang mampu mengakhiri segala bentuk praktik komersialisasi pendidikan yang semakin menjamur itu. Terkait masalah seragam, sebaiknya pemerintah mengeluarkan regulasi yang secara tegas mengatur tentang pengadaan seragam serta hal-hal yang terkait di dalamnya. Dan untuk pihak sekolah, sebaiknya seragam dibuat seperlunya saja. Artinya seragam tidak perlu banyak-banyak dan kelihatan mewah, namun bisa dibuat lebih sederhana dan terjangkau oleh semua kalangan. Tentu pihak sekolah juga harus melalui musyawarah terlebih dahulu dengan para wali siswa.

Sabtu, 17 Juli 2010

Sekeping Hati Untuk Mu

Di bawah terang cahaya rembulan,
Terbentang jutaan gugus bintang di balik awan,
Dalam pekatnya rinai malam,
Tersimpan kisah antara engkau dan aku,

Tak pernah sebelumnya kurasakan,
Gelora cinta yang memuncak di ufuk jiwa,
Bening kilau embun dan segaris cahaya pagi menjadi saksi,
Rasa cinta yang terpendam diantara kau dan aku,

Oh Tuhan semua ini laksana sebuah mimpi yang sempurna,
Ia laksana bidadari yang Tuhan kirimkan ke bumi,
Bidadari terindah yang telah menggetarkan dawai hati ku,
Hingga tercipta melodi-melodi cinta yang begitu syahdu,

Oh Tuhan kini baru ku sadari,
Ada cinta diantara aku dan dia,
Walau berat untuk ungkapkannya,
Namun rasa itu sungguh ada,

Biarkan rasa cinta itu tumbuh bersemi diantara kau dan aku,
Bersabarlah hingga tiba saatnya nanti,
Kan ku simpan sekeping hati ini hanya untuk mu,
Hingga kau pun mengakui ada rasa diantara kita,
Sekarang, esok , atau entah kapan…


Kamis, 15 Juli 2010

Kualitas Pendidikan di Indonesia


Seiring perkembangan zaman yang sangat cepat dan modern membuat dunia pendidikan semakin penuh dengan dinamika, Di Indonesia sendiri dinamika itu tampak dari tidak henti-hentinya sejumlah masalah yang melingkupi dunia pendidikan. Permasalahan-permasalahn yang melingkupi dunia pendidikan kita saat ini menurut Suryati Sidharto (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995), problem yang dihadapi bangsa Indonesia mencakup lima pokok problem, yaitu: Pemerataan Pendidikan, Daya Tampung Pendidikan, Relevansi Pendidikan, Kualitas/Mutu Pendidikan, dan Efisiensi & Efektifitas Pendidikan (Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan, Arif Rohman, Hal: 245)

Dalam kesempatan ini Penulis hanya akan membahas tentang masalah mutu pendidikan di Indonesia. Masalah mutu pendidikan ini tampaknya dari sejak kita merdeka hingga kini memasuki era millennium belum juga dapat terselesaikan dengan baik. Masalah mutu pendidikan di Indonesia memang sangat komplek dan rumit, ini tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan kita. Menurut penulis sendiri mutu pendidikan merupakan cerminan dari mutu sebuah bangsa. Manakala mutu pendidikannya bagus, maka bagus pula kualitas peradaban bangsa tersebut. Untuk itu seyogyanya masalah mutu pendidikan harus menjadi perhatian serius Pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Tentu dalam pengimplementasian-nya upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi tanggungjawab kita bersama, dan bukan hanya Pemerintah.

Menurut Achmad (1993), mutu pendidikan di sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku. Engkoswara (1986) melihat mutu/keberhasilan pendidikan dari tiga sisi; yaitu: prestasi, suasana, dan ekonomi. Dalam hubungan dengan mutu sekolah, Selamet (1998) berpendapat bahwa banyak masyarakat yang mengatakan sekolah itu bermutu atau unggul dengan hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya
ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada juga yang melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha.
Di sisi lain Heyneman dan Loxley dalam Boediono & Abbas Ghozali (1999) menyimpulkan bahwa kualitas sekolah dan guru nampaknya sangat berpengaruh pada prestasi akademis di seluruh dunia; dan semakin miskin suatu negara, semakin kuat pengaruh tersebut. Menurut Penulis, mutu pendidikan merupakan tolok ukur keberhasilan sebuah proses pendidikan yang bisa dirasakan oleh masyarakat mulai dari input (masukan), proses pendidikan yang terjadi, hingga output (produk keluaran) dari sebuah proses pendidikan.

Lalu apa saja permasalahan mutu pendidikan di Indonesai?

Berbicara tentang permasalahan mutu pendidikan di Indonesia, penulis sebagai mahasiswa Filsafat dan Sosiologi Pendidikan melihatnya sebagai permasalahan yang sangat komplek, dan tidak bisa dilepaskan antara satu poin masalah dengan poin masalah lainnya. Misalnya saja penulis berikan sample mutu pendidikan yang berupa hasil belajar yang selama ini kita kenal dengan Hasil Ujian Nasional. Sekarang ini hasil ujian nasioanal dijadikan sebagai salah satu alat ukur dan pemetaan mutu pendidikan di Indonesia. Dari evaluasi hasil ujian nasional tersebut akhirnya Pemerintah mengambil suatu kebijakan untukl meningkatkan mutu hasil belajar peserta didik. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa hasil belajar yang bermutu hanya bisa dicapai melalui proses belajar yang bermutu pula. Dan proses belajar yang bermutu membutuhkan SDM serta biaya yang relative besar.

Pemerintah pun akhirnya mengambil langkah awal mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru,dengan dalih peningkatan kesejahteraan guru/pendidik. Setelah para guru/pendidik sejahtera diharapkan mampu memacu semangat keprofesionalan mereka dalam mengajar dan mendidik para peserta didik. Benarkah demikian? Yang terjadi selama ini justru menyimpang dari haapan kita semua, banyak permasalahan yang muncul dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru. Yang ingin penulis soroti di sini yaitu terkait kemerosotan hasil ujian nasioanal pada tahun 2010 seiring makin banyak guru yang telah tersertifikasi. Di sini ternyata kita temukan fakta baru, bahwa kebijakan/program sertifikasi guru tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam hal ini mutu hasil belajar peserta didik.

Dalam hal ini bukan berarti sertifikasi guru itu tidak penting atau bahkan tidak perlu. Kita tetap harus memberikan apresiasi positif atas upaya Pemerintah tersebut. Hanya saja menurut Penulis kebijakan sertifikasi pendidikan yang ada saat ini baru berdampak pada peningkatan kesejahteraan guru, walau banyak menimbulkan kecemburuan sosial dari golongan PNS lainnya. Program sertifikasi guru yang ada saat ini belum menampakkan dampak pada peningkatan mutu pendidikan secara umum. Ini tentu perlu menjadi perhatian dan sebagai bahan evalusi oleh Pemerintah khususnya dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.





Sabtu, 10 Juli 2010

URGENSI PENDIDIKAN MORAL

Menghadapi krisis moral yang sedang menghantam bangsa ini, maka sudah seharusnya Pendidikan mengambil peranan utama yang berdiri di garda terdepan sebagai benteng moral bangsa. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Di dalam Bab II Pasal 3 UU Sisdiknas juga dituliskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pendidikan moral dan pembangunan karakter bangsa. Pendidikan moral merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita. Untuk itu dunia pendidikan harus mampu menjadi motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan moral bangsa, sehingga setiap peserta didik mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi NKRI dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adapt kebiasaan. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai (1) prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. (2) kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah. (3) ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik. (http://www.nu.or.id)

Pendidikan moral sebagai bagian dari pendidikan nilai di sekolah, adalah upaya untuk membantu subyek didik mengenal , menyadai pentingnya, dan menghayati nilai-nilai moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan perilakunya sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat. Nilai moral mendasari prinsip dan norma hidup baik yang memandu sikap dan perilaku manusia sebagai pedoman dalam hidupnya. Kita semua tentu mengetahui, kualitas hidup seseorang ditentukan oleh nilai-nilai, dan termasuk di dalamnya yaitu nilai moral. Nilai moral senyatanya dihayati sebagai pemandu serta penentu sikap dan perilaku seseorang dalam hidupnya; baik terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, alam sekitar, maupun dalam hubungannya dengan Tuhan .

Pada faktanya watak dan kepribadian seseorang dibentuk oleh nilai-nilai yang dipilih, diusahakan, dan secara konsisten dihayati dalam setiap tindakan-tindakannya. Dalam upaya pengenalan dan penyadaran pentingnya serta upaya menunjang penghayatan nilai-nilai moral, pendidikan moral memuat unsur penyampaian pengetahuan moral kepada subyek didik/peserta didik, serta pengembangan pengetahuan moral yang sudah ada padanya (Pendidikan Manusia Indonesia, hal 108-109)


Rabu, 07 Juli 2010

AWAS, BAHAYA "LATEN" KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini telah menjadi sebuah rahasia umum yang amat memprihatinkan. Komodifikasi pendidikan nampaknya kini semakin sulit dibendung, nyaris terjadi di berbagai sector dan jenjang pendidikan. Gejala komodifikasi pendidikan itu telah menjangkit mulai dari jenjang playgroup hingga perguruan tinggi yang semakin kasatmata. 

Contoh praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi pada akhir-akhir ini yaitu mahalnya biaya untuk masuk sebuah perguruan tinggi (PT) favorit. Kita ketahui bersama kini untuk sekedar bisa mendapatkan formulir pendaftaran saja para calon mahasiswa harus rela mengeluarkan uang yang cukup besar dan tidak terjangkau oleh kaum miskin. Belum lagi besarnya biaya sumbangan pengembangan institusi yang harus dibayarkan. Bahkan di kota-kota besar untuk sekedar masuk playgroup saja para orang tua harus rela mengeluarkan uang jutaan rupiah.

Adanya praktik komodifikasi atau komersialisasi pendidikan ini perlu menjadi perhatian dan kewaspadaan kita bersama. Karena bagaimanapun wujud dan modelnya, jika terus dibiarkan akan semakin mempertajam kesenjangan social yang terjadi dalam masyarakat. Akses masyarakat terutama golongan menengah ke bawah untuk mendapatkan layanan pendidikan yang adil (baca: bermutu dan merata) menjadi semakin sulit dan jauh dari kenyataan. Kini layanan dan kualitas pendidikan yang bermutu tinggi hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya kantong tebal. Sementara bagi para golongan menengah ke bawah harus cukup puas dengan layanan dan kualitas pendidikan yang juga masih jauh dari standar.

Hal yang menjadi salah satu pemicu adanya komersialisasi pendidikan adalah kultur akademik di negeri ini yang masih belum dewasa. Perguruan Tinggi misalnya, kini banyak yang masih “manja” dan bergantung kepada pemerintah dalam hal pembiayaan dan pendanaan pendidikan. Sehingga manakala anggaran yang dikucurkan pemerintah dirasa masih kurang, mereka gunakan segala cara untuk mengeruk dana dari para orang tua atau masyarakat.

Solusi untuk keluar dari permasalahan ini yaitu perlu dibangun kultur akademik yang lebih dewasa. Perguruan Tinggi jangan lagi bermanja-manja menggantungkan anggaran yang dikucurkan oleh Pemerintah. Dan jangan pula membebankannya kepada masyarakat atau orang tua para peserta didik. Ada cara yang lebih bijaksana dan merakyat. Yakni pengembangan berbagai potensi yang ada di Perguruan Tinggi. Misal melalui kerjasama dalam berbagai riset, pelatihan-pelatihan, diklat dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih produktif. Dari pada melalui cara-cara penarikan dana terhadap masyarakat yang sesungguhnya tidaklah etis.

MAHASISWA INDONESIA JANGAN LATAH

Nampaknya kini tanpa disadari aksi gerakan mahasiswa sering kali terkesan latah. Latah disini dapat diartikan bahwa mahasiswa melakukan aksi gerakan turun ke jalan manakala hal itu sedang nge-tren atau booming di masyarakat. Contohnya saja ketika sedang nge-tren kasus Bank Century mahasiswa serta merta beramai-ramai turun ke jalan mengecam kebijakan tersebut. Ketika sedang nge-tren kasus penyerangan Israel terhadap para relawan kemanusiaan di kapal Mavi Marmara, para mahasiswa pun kembali turun ke jalan mengecam kebiadaban zionis Israel itu. Sejatinya aksi mahasiswa itu memang mulia dan pantas kita berikan acungan jempol, namun jangan sampai setiap aksi gerakan tersebut sebagai wujud “kelatahan” mahasiswa seiring degradasi moral yang terjadi pada diri mereka. 

Sungguh memprihatinkan, manakala aksi gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan rakyat Indonesia justru terkadang terjebak pada aksi-aksi atau gerakan yang hanya sekedar mengukuhkan “eksistensi” diri ataupun kelompok mahasiswa semata. Narsisme tampaknya masih sering kali merasuk dalam jiwa mahasiswa. Narsisme itulah yang turut menyulut “kelatahan” pada mahasiswa saat ini. Dilihat secara psikologis “latah” yang terjadi pada diri mahasiswa didorong oleh keinginan jiwa untuk tetap eksis dan diakui keberadaannya oleh orang lain. Ini tentu justru bisa membiaskan idealisme yang sering diteriakan para mahasiswa itu sendiri. Apa solusinya?

Kembalikan Citra Mahasiswa

Yang telah lalu biarlah berlalu menjadi kenangan manis bersama. Kini para mahasiswa harus berhenti menikmati romantisme sejarah kejayaan masa itu. Zaman telah berubah dan bukan waktunya lagi tampil bak pahlawan yang kesiangan. Mahasiswa harus terus bergerak untuk perubahan yang lebih baik. Mahasiswa harus membuktikan bahwa mereka memang pantas menyandang gelar “agent of change”. Karena itu citra positif mahasiswa di mata masyarakat harus dipulihkan kembali. Jika memang mahasiswa tetap konsisten dengan semangat membela kepentingan rakyat, maka merebut kembali hati dan kepercayaan rakyat adalah syarat wajib.

Setiap aksi gerakan mahasiswa yang akhir-akhir ini sering keluar jalur koridor, perlu dikembalikan lagi pada rel idealisme dan demokrasi. Mahasiswa harus lebih memiliki “sense of crisis”, sehingga tidak lagi “latah” dalam setiap aksi atau gerakan. Mahasiswa pun perlu belajar lebih banyak mengenai etika berdemokrasi. Karena itu dalam setiap aksi gerakan mahasiswa, etika menjadi nilai yang wajib dikedepankan. Dengan begitu akan terpancar kembali pesona dan kharisma para mahasiswa Indonesia sejati. Semoga!

IDEALISME ALA MAHASISWA TERKINI

Aksi atau gerakan mahasiswa selama ini tidak bisa dipungkiri memang telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi tegaknya demokrasi di bumi pertiwi Indonesia. Ini terbukti dari catatan sejarah yang mengabadikan betapa dahsyatnya kekuatan mahasiswa kala itu hingga berhasil menumbangkan rezim otoriter masa pemerintahan Suharto. Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) juga menjadi saksi sejarah perjuangan mahasiswa dalam melawan dominasi Jepang atas pasar dalam negeri pada tahun 1974. Dan hati kita pun akan menangis manakala diingatkan akan peristiwa berdarah di kampus Trisakti. Mahasiswa kala itu selalu menjadi garda terdepan sebagai simbol perlawanan hati nurani rakyat terhadap kesewenang-wenangan penguasa masa itu. Lalu bagaimana dengan sekarang?

Sangat disayangkan nampaknya kini citra mahasiswa sebagai simbol perlawanan rakyat itu mulai memudar seiring berjalannya waktu. Pesona mahasiswa tidak lagi seterang dan sekuat dulu. Kharisma dan wibawa yang dimiliki mahasiswa saat ini semakin merosot di mata masyarakat. Bahkan sering kali mahasiswa yang berniat membela rakyat justru berbalik arah menjadi musuh dari rakyat itu sendiri. Kepercayaan rakyat terhadap mahasiswa pun semakin menghilang. Yang menjadi pertanyaan sekarang mengapa pesona atau citra mahasiswa di mata masyarakat semakin memudar?

Sepertinya saat ini masyarakat sudah mulai muak dan bosan mendengar teriakan-teriakan idealis mahasiswa di jalanan. Pudarnya citra mahasiswa di mata masyarakat juga sebagai dampak dari aksi gerakan mahasiswa itu sendiri. Akhr-akhir ini mahasiswa justru sering kali mempertontonkan aksi anarkisme di mata masyarakat. Bahkan sering kali terjadi aksi tawuran antar mahasiswa yang notabene masih satu almamater. Mahasiswa yang menyandang gelar sebagai “agent of change” akhir-akhir ini juga memperlihatkan aksi-aksi yang cenderung vandalisme ketika melakukan perusakan fasilitas umum maupun fasilitas negara yang dibiayai dari uang rakyat. 

Terjebak Idealisme

Mahasiswa sebagai insan akademik yang selalu berpegang teguh pada idealisme nampaknya kini justru terjebak pada keidealisanya itu sendiri. Tidak jarang kita dengar mahasiswa meneriakan Nasionalisme, walaupun fakta di lapangan menujukkan betapa banyak mahasiswa yang lupa akan budaya bangsanya sendiri. Mahasiswa sering meneriakan berantas kebodohan, namun kenyataanya sekedar membaca materi kuliah saja terkadang masih banyak mahasiswa yang malas dengan berbagai alasan kesibukan sebagai seorang aktivis. Mahasiswa sering meneriakan berantas para koruptor, padahal disadari atau tidak mahasiswa sendiri suka mengkorupsi jam kuliah. Mahasiswa sering berteriak bebaskan rakyat dari kemiskinan, juga akan terasa lucu ketika keluar dari mulut mahasiswa yang pemalas dan masih menggantungkan financial kepada orang lain.

Kini aksi gerakan mahasiswa pun seolah telah kehilangan arah dan tujuan. Pasca reformasi 1998 gerakan mahasiswa tampak mengalami disorientasi. Aksi gerakan mahasiswa jarang sekali mampu mengangkat isu-isu yang bersifat kerakyatan. Mahasiswa justru banyak yang terjebak dalam euphoria politik praktis hingga sering melupakan perannya sebagai gerakan moral untuk membangun bangsa. Aksi gerakan mahasiswa yang belakangan seringkali diwarnai anarkisme dan berujung bentrok, jika dibiarkan akan menjadi boomerang bagi para mahasiswa itu sendiri. Ini tentu perlu menjadi perhatian dan renungan para mahasiswa sekalian.

Semakin pudarnya citra mahasiswa di mata masyarakat juga tidak lepas dari munculya pertanyakan-perrtanyaan yang kian menyudutkan mahasiswa. Kedewasaan dan kelogisan berfikir para mahasiswa pun kembali dipertanyakan. “Gerakan Mahasiswa, sebenarnya Mau Kemana?”. Dalam artian, apa sebenarnya yang diinginkan para mahasiswa saat ini? Kenapa kini gerakan mahasiswa justru sering bentrok dan berbalik menjadi lawan masyarakat? Sungguh ironis, namun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua mahasiswa memperlihatkan sisi yang negative. Di sisi lain tentu masih banyak mahasiswa-mahasiswa yang memperlihatkan kegemilangan prestasinya, bahkan hingga mampu mengharumkan nama bangsa. Mengapa bisa demikian?

AWAS, BAHAYA "LATEN" SEKS BEBAS

Dari data survey Kesehatan Reproduksi Remaja (15-19 tahun) oleh Badan Pusat Statistik (2009) tentang perilaku remaja terhadap kesehatan reproduksi menunjukkan fakta yang mencengangkan. Data tersebut menyebutkan bahwa dari 10.833 remaja laki-laki yang disurvei, 72 persen diantaranya mengaku sudah berpacaran. Dan dari 72 persen itu diperoleh data sbb:
• 92 persen saat berpacaran lebih sering melakukan pegang-pegang tangan
• 82 persen mengaku telah berciuman
• 10,2 persen mengaku telah melakukan hubungan seks (seks di luar nikah)
• 62 persen mengaku telah melakukan petting

Sedang dari hasil survei terhadap 8.340 remaja putri diperoleh data sbb:
• 77 persen mengaku sudah berpacaran
• 92 persen mengaku lebih sering melakukan pegang-pegang tangan
• 86 persen mengaku telah berciuman
• 6,3 persen mengaku telah melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya
• 63 persen mengaku telah melakukan petting

Akibat-akibat lain dari seks bebas di kalangan remaja ini pun perlu disosialisasikan kepada para remaja, antara lain; resiko terkena HIV/AIDS, PMS (Penyakit Menular Seksual), KTD (Kehamilan yang Tidak Diinginkan) hingga aborsi yang dapat menyebabkan cacat permanen atau berujung pada kematian. Belum lagi dampak psikologis yang seringkali lebih mengarah pada wanita korban pelecehan tersebut, seperti rasa malu, depresi berat, rasa tidak berharga, putus asa, dsb.

Lalu berikut beberapa alasan kenapa hal ini bisa terjadi :

  • Tidak Kuasa untuk Menolak
Biasanya karena merasa takut diputus dan kehilangan pacarnya. Pacar sudah membujuk rayu sedemikian rupa, sampai akhirnya tidak bisa menolak. Habis itu, siapa yang akan bertanggung jawab? Biasanya dijadikan alasan sebagai pembuktian cinta. Sebenarnya jika dilogika kalau benar-benar cinta, pasti akan saling menjaga

  • Konsep “GAUL” yang Sesat
Saat ini para remaja banyak yang berasumsi bahwa dengan pernah melakukan hubungan seks, dianggap ‘Gaul’, berani, hebat, dsb. Ini tentu sebuah konsep menyesatkan yang perlu diluruskan kembali pada jalur koridor yang benar.

  • Prostitusi sebagai Lahan Bisnis
Tidak bisa dipungkiri kini prostitusi semakin merebak dan berkembang menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan. Akhirnya para remaja pun banyak yang terjerumus ataupun menjadi korban perdagangan manusia atas bisnis maksiat tersebut. Di beberapa daerah, ternyata ada juga remaja yang kebanyakan perempuan, dimana mereka dijual oleh orangtua atau keluarganya sendiri kepada “Germo” dengan alasan ekonomi. Sungguh ironis memang!

  • Korban Tayangan TV
Merebaknya seks bebas di kalangan remaja saat ini juga tidak lepas dari pengaruh kotak “setan” yang bernama Televisi. Akhir-akhir ini tayangan di televisi tanpa disadari seringkali mengumbar tontonan yang sensual. Ini tentu mendorong perilaku seks yang agresif pada para remaja. Contohnya saja kini sinetron-sinetron yang terkadang menampilkan adegan-adegan sensual dan gaya berpacaran yang kebablasan.

  • Masuknya Budaya “POP”
Masuknya budaya pop Barat ke dalam budaya kita nampaknya kini justru semakin menggeser budaya kita sendiri. Kini para remaja dan generasi muda justru lebih bangga dengan segala embel-embel yang kebara-baratan. Gaya hidup remaja pun lebih sering berkiblat pada bangsa lain.




Selasa, 06 Juli 2010

MENIMBANG EFEKTIFITAS PENDIDIKAN MORAL

Selama ini pendidikan moral memang telah dilakukan di sekolah sejak pendidikan tingkat dasar hingga pendidikan tinggi di kampus Pendidikan moral tersebut diajarkan kepada peserta didik melalui mata pelajaran PKn dan Pendidikan Agama (di sekolah) dan melalui mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Moral, dsb (di kampus). Namun saat ini kita semua bisa melihat betapa korupsi masih menjamur di berbagai lembaga dan bahkan institusi Negara, virus pornografi terus menjangkit generasi bangsa, kasus kriminalitas terjadi di mana-mana, kekerasan dan anarkisme-pun semakin mengakar di dalam kehidupan masyarakat. Ini jelas-jelas sebuah “pertanda” bahwa pendidikan moral yang ada di sekolah maupun kampus selama ini masih “gagal” menjadikan peserta didik sebagai “manusia yang bermoral”. Pada akhirnya kita pun patut mempertanyakan “Seberapa efektifkah pendidikan moral di sekolah dan kampus?”

Penulis mengutip pendapat Marvin Berkowitz (1998) yang mengatakan bahwa kebanyakan pendidikan moral yang dilakukan di sekolah-sekolah tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perubahan perilaku. Contoh konkritnya yang paling relevan terhadap hal ini adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang kini menjadi PKn yang sudah puluhan tahun diajarkan di Sekolah maupun Kampus. Namun kenyataannya sampai saat ini adakah bukti nyata atau korelasi yang signifikan antara Pendidikan//Pembelajaran Moral terhadap terwujudnya bangsa Indonesia sebagai insane yang bermoral? Ironis sekali, fakta di lapangan selama ini justu menunjukkan hal yang sebaliknya.

Jika kita amati dan analisa, sepertinya masih ada semacam kesenjangan dalam pelaksanaan pendidikan moral selama ini. Kesenjangan itu terjadi antara pengetahuan moral ( cognition) dan perilaku (action). Salah satu solusi untuk mengefektifkan pendidikan moral yang memang sudah ada selama ini yaitu melalui pendidikan karakter. Karena pendidikan moral selama ini hanya menyentuh aspek “pengetahuan”, belum sampai pada aspek pengamalan atau “perilaku”.

Menurut penulis jika negara ini benar-benar menghendaki generasi dan bangsa yang bermoral, maka pendidikan karakter merupakan sebuah keharusan. Jika Pemerintah tetap mengandalkan Pendidikan Moral untuk membangun akhlak bangsa terutama generasi muda, maka upaya tersebut tidak akan efektif. Seperti yang terjadi selama ini, penulis belum melihat dampak nyata yang empirik dari Pendidikan Moral baik itu di sekolah maupun kampus. Untuk itu penulis menghimbau kepada Pemerintah agar Pendidikan Karakter menjadi perhatian serius Pemerintah. Jangan sampai Pendidikan Karakter berakhir sekedar "wacana" yang terus menjadi perdebatan dari masa ke masa.

Pendidikan Moral yang ada selama ini dan Pendidikan Karakter memang tidak jauh berbeda. Hanya saja Pendidikan Karakter yang menjadi topik bahasan akhir-akhir ini lebih luas cakupannya. Karena tidak hanya menekankan pada pemahaman konsep semata, akan tetapi juga pada penghayatan dan pengamalan dalam tingkah-laku sehari-hari. Pendidikan Moral saat ini memang masih sangat dibutuhkan di sekolah maupun kampus. Akan tetapi upaya tersebut tidak akan efektif tanpa didukung dengan Pendidikan Karakter.

MENYUSURI JEJAK SEJARAH "KAWASAN KOTA TUA"



Jakarta sebagai kota metropolitan yang sarat akan modernitas dan kemacetan-nya itu ternyata masih memiliki kawasan unik yang menyimpan nilai sejarah tinggi bagi bangsa Indonesia. Kawasan unik nan bersejarah itu bernama kawasan Kota Tua. Letaknya di jalan Fatahillah, Jakarta Utara. Sekitar 4 hingga 5 kilometer dari Tugu Monumen Nasional.

Menurut data sejarah, kawasan kota tua ini merupakan hasil rancangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Peiterzoon Coen tahun 1628 yang ingin membangun Amsterdam di Batavia. Batavia adalah sebutan awal bagi Jakarta waktu itu. Ketika berada di kawasan Kota Tua ini, seakan kita diajak melihat kembali perjalanan sejarah kota Jakarta. Di kawasan Kota Tua terdapat beberapa bangunan kuno yang unik dengan rancangan arsitektur bergaya Eropa.

Keindahan Kota Tua tidak hanya terasa dari sisi luarnya saja. Tetapi juga dari beberapa bangunannya yang hingga saat ini masih berdiri tegak dan masih layak untuk digunakan. Salah satunya, Museum Sejarah Jakarta atau yang seringkali disebut Museum Fatahillah. Luasnya sekitar 13 ribu meter persegi. Bangunan ini didirikan atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Van Hoorn sekitar tahun 1707 hingga 1710. Konon, peletakan batu pertama pembangunan gedung ini dilakukan tanggal 25 Januari 1707 semasa pemerintahan Van Hoorn. Kemudian, pelaksanaan pembangunan diteruskan di bawah pemerintahan Gubernur Jendral Abraham van Riebeeck hingga diresmikan tahun 1710. Awalnya, konon bangunan ini digunakan sebagai balai kota, kantor Penasehat Gubernur Jendral, dan Ruang Pengadilan.

Namun sejak, 30 Maret 1974 gedung ini berubah fungsi dan dipugar. Kemudian, diresmikan sebagai museum Fatahillah oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta waktu itu, Bapak Ali Sadikin. Sebagai saksi bisu perjalanan sejarah bangsa Indonesia, di museum ini terdapat bekas penjara bawah tanah yang pernah digunakan ketika Indonesia di bawah pemerintahan Hindia Belanda.

Tidak hanya itu, museum ini juga menyimpan beberapa koleksi yang tentunya menjadi barang berharga bagi Indonesia. Seperti keramik, gerabah, batu prasasti serta mebel antik yang dibuat sekitar abad ke-17 Masehi. Bukan hal yang aneh jika museum ini seringkali dikunjungi oleh beberapa wisatawan baik domestik maupun mancanegara.


Menyusuri kawasan Kota Tua Jakarta, akan membuat kita merasakan pesona Jakarta di masa lampau. Itulah sebabnya, mengapa kawasan ini seringkali disebut dengan Jakarta Tempo Dulu. Dari pengamatan penulis saat bermain ke Kawasan Kota Tua, nampak banyak sekali para pengunjung baik dari dalam maupun luar negeri. Apalagi pada malam minggu, di sekitar kawasan Kota Tua selalu dipadati pengunjung baik para kawula muda maupun orang tua. Penulis juga melihat banyak sekali para pecinta sepeda yang sering berkumpul di sana. Di kawasan bersejarah tersebut juga terdapat ojek "sepeda onthel" yang bisa kita sewa sembari menikmati museum-museum di kawasan Kota Tua. Jika perut mulai terasa lapar, kita pun disuguhi berbagai jajanan yang ada di sana. So, jika Anda tertarik mencobanya, silahkan kunjungi  Kawasan Kota Tua di Jakarta.