Sore itu
hari semakin gelap. Hujan pun turun rintik-rintik membasahi tanah Jogja.
Semua orang yang lalu-lalang di sekitar kampus segera berteduh untuk
menghindari hujan. Aku yang saat itu sedang minum kopi di sebuah
angkringan sederhana tiba-tiba terkejut dengan penampakan dua sosok
manusia yang nekad terus berjalan di tengah-tengah guyuran hujan.
Bapak-bapak tua bersama seorang anak muda hampir seumuran dengan aku.
Wajah mereka begitu polos dan sepertinya sedang bingung mencari sesuatu.
Nampak sesekali sang bapak memeluk anak muda itu dengan tatapan cemas.
“Pak-pak monggo mampir dulu sini berteduh, hujannya masih deras”, seruku kepada bapak tua itu saat lewat di depan angkringan di mana aku minum kopi untuk sekedar menghangatkan badan.
Bapak tua
itu pun mendekat sambil membawa bawaan beberapa kardus dan tas besar
yang di panggulnya. Nampak kelelahan yang sangat dari raut wajahnya. Si
anak muda yang bersama dengannya itu sesekali menuntunnya. Lalu duduklah
mereka pada salah satu kursi kayu panjang yang ada di angkringan.
“Bang-bang tolong dibikinin kopi panasnya dua lagi ya”, pintaku kepada abang penjaga angkringan.
“Okey
siappp mas bro”, sahut abang angkringan yang tidak lama disusul dengan
dua gelas kopi hangat yang sudah siap untuk dinikmati.
“Monggo
diminum dulu kopinya pak…mas… mumpung masih anget biar nggak kedinginan.
Terus silahkan ambil nasi kucing atau gorengan mana yang disuka. Santai
saja saya gratis kok”, sapaku kepada mereka.
“Wah-wah terimakasih sekali mas, jadi ngerepotin ni”, balas bapak dan pemuda itu dengan kompak.
“Sama-sama…”
“Oh ya,
bapak sama mas ini sebenarnya dari mana, mau kemana atau mencari siapa
gerangan? Kok kelihatannya banyak bener barang bawaannya?”, tanyaku.
“Kami ini
orang dari kampung pelosok mas. Pemuda ini anak saya yang kebetulan baru
saja diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Jogja ini.
Dan dari tadi kami muter-muter nyari kos-kosan yang murah. Tapi belum
nemu juga. Maklum saya ini hanya seorang buruh tani biasa mas”, curhat
bapak tua itu.
“Walau
hanya buruh tani saya tidak pernah minder mas. Yang penting pekerjaan
itu halal dan berkah untuk kehidupan keluarga saya. Kebetulan kami
muslim dan selalu menggantungkan segalanya hanya kepada Tuhan, bukan
kepada manusia. Syukurlah Tuhan memberikan jalan, walau kami hanya
keluarga buruh tani, namun anak saya ini berhasil mendapatkan beasiswa
gratis sampai lulus sarjana di salah satu fakultas pertanian ternama di
Jogja ini”, lanjut bapak tua itu mengisahkan perjalanan hidupnya.
“Wah saya
salut sekali dengan perjuangan bapak. Bagaimana kalau nanti saya antar
saja ke pengurus masjid di sekitar sini. Kebetulan di salah satu masjid
sekitar kampus ini lagi butuh seorang marbot. Dan anak bapak bisa gratis
tinggal di masjid itu sambil menjadi pengurus rumah Allah”, sahutku
merekomendasi.
“Boleh-boleh…
bapak berterimakasih sekali atas bantuannya mas, semoga Tuhan membalas
segala kebaikanmu”, tutur bapak itu sambil menepuk pundakku.
“Amiin…
sama-sama Pak. Justru saya sangat berterimakasih kepada bapak yang telah
menyadarkan saya lewat kisah inspiratif kehidupan bapak. Semoga kelak
anak bapak menjadi sarjana pertanian yang mampu mengubah hidup keluarga
bapak dan para buruh tani di negeri ini”, balasku.
Hujan pun mereda. Aku bersyukur angkringan dan hujan sore itu telah mempertemukan aku dengan sebuah realitas kehidupan. Man jadda wa jadda!