Sabtu, 28 Juli 2012

Kisah Inspiratif Sarjana Buruh Tani

Sore itu hari semakin gelap. Hujan pun turun rintik-rintik membasahi tanah Jogja. Semua orang yang lalu-lalang di sekitar kampus segera berteduh untuk menghindari hujan. Aku yang saat itu sedang minum kopi di sebuah angkringan sederhana tiba-tiba terkejut dengan penampakan dua sosok manusia yang nekad terus berjalan di tengah-tengah guyuran hujan. Bapak-bapak tua bersama seorang anak muda hampir seumuran dengan aku. Wajah mereka begitu polos dan sepertinya sedang bingung mencari sesuatu. Nampak sesekali sang bapak memeluk anak muda itu dengan tatapan cemas.

“Pak-pak monggo mampir dulu sini berteduh, hujannya masih deras”, seruku kepada bapak tua itu saat lewat di depan angkringan di mana aku minum kopi untuk sekedar menghangatkan badan.

Bapak tua itu pun mendekat sambil membawa bawaan beberapa kardus dan tas besar yang di panggulnya. Nampak kelelahan yang sangat dari raut wajahnya. Si anak muda yang bersama dengannya itu sesekali menuntunnya. Lalu duduklah mereka pada salah satu kursi kayu panjang yang ada di angkringan.

“Bang-bang tolong dibikinin kopi panasnya dua lagi ya”, pintaku kepada abang penjaga angkringan.

“Okey siappp mas bro”, sahut abang angkringan yang tidak lama disusul dengan dua gelas kopi hangat yang sudah siap untuk dinikmati.

“Monggo diminum dulu kopinya pak…mas… mumpung masih anget biar nggak kedinginan. Terus silahkan ambil nasi kucing atau gorengan mana yang disuka. Santai saja saya gratis kok”, sapaku kepada mereka.

“Wah-wah terimakasih sekali mas, jadi ngerepotin ni”, balas bapak dan pemuda itu dengan kompak.

“Sama-sama…”

“Oh ya, bapak sama mas ini sebenarnya dari mana, mau kemana atau mencari siapa gerangan? Kok kelihatannya banyak bener barang bawaannya?”, tanyaku.

“Kami ini orang dari kampung pelosok mas. Pemuda ini anak saya yang kebetulan baru saja diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Jogja ini. Dan dari tadi kami muter-muter nyari kos-kosan yang murah. Tapi belum nemu juga. Maklum saya ini hanya seorang buruh tani biasa mas”, curhat bapak tua itu.

“Walau hanya buruh tani saya tidak pernah minder mas. Yang penting pekerjaan itu halal dan berkah untuk kehidupan keluarga saya. Kebetulan kami muslim dan selalu menggantungkan segalanya hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Syukurlah Tuhan memberikan jalan, walau kami hanya keluarga buruh tani, namun anak saya ini berhasil mendapatkan beasiswa gratis sampai lulus sarjana di salah satu fakultas pertanian ternama di Jogja ini”, lanjut bapak tua itu mengisahkan perjalanan hidupnya.

“Wah saya salut sekali dengan perjuangan bapak. Bagaimana kalau nanti saya antar saja ke pengurus masjid di sekitar sini. Kebetulan di salah satu masjid sekitar kampus ini lagi butuh seorang marbot. Dan anak bapak bisa gratis tinggal di masjid itu sambil menjadi pengurus rumah Allah”, sahutku merekomendasi.

“Boleh-boleh… bapak berterimakasih sekali atas bantuannya mas, semoga Tuhan membalas segala kebaikanmu”, tutur bapak itu sambil menepuk pundakku.

“Amiin… sama-sama Pak. Justru saya sangat berterimakasih kepada bapak yang telah menyadarkan saya lewat kisah inspiratif kehidupan bapak. Semoga kelak anak bapak menjadi sarjana pertanian yang mampu mengubah hidup keluarga bapak dan para buruh tani di negeri ini”, balasku.

Hujan pun mereda. Aku bersyukur angkringan dan hujan sore itu telah mempertemukan aku dengan sebuah realitas kehidupan. Man jadda wa jadda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar