Di lingkungan perkampungan atau pedesaan saya kerapkali menyaksikan kehidupan masyarakat yang masih begitu kedaerahan. Saya amati dari interaksi sosial antar anggota masyarakatnya memang nampak kompak, seperti halnya adanya kegiatan gotong royong, pengajian rutin, arisan, dan lainnya. Namun yang amat sangat disayangkan adalah sikap fanatik terhadap kelompok (kedaerahan) yang terasa masih begitu kental dalam kehidupan masyarakat tersebut. Sebagai contoh, sikap atau keyakinan warga masyarakat yang menganggap bahwa kelompok/masyarakatnya lebih baik dari kelompok/masyarakat dari luar kampung/desa/daerah-nya. Bahkan terkadang ada beberapa kelompok masyarakat yang menganggap bahwa kelompoknya-lah yang terbaik. Bila ada kelompok masyarakat lain yang nampak mengungguli maka mereka akan berontak, karena tidak mau tersaingi.
Ini membuktikan bahwa di dalam kehidupan masyarakat kita yang demokratis ini ternyata masih saja banyak warga masyarakat ataupun kelompok yang cenderung bersikap etnosentrisme secara berlebih-lebihan. Terlebih lagi dengan adanya otonomi daerah, yang salah satu dampaknya kian membuat masyarakat bersikap fanatik terhadap daerahnya masing-masing. Etnosentrisme sendiri menurut Matsumoto (1996) adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Ada lagi pendapat yang menjelaskan bahwa etnosentrisme merupakan suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya.
Sebagai contoh, (maaf) misalkan ada orang dari luar Jogja yang kebetulan bertamu di daerah Jogja, lalu ia makan sambil ngomong dan berdiri atau jalan mondar-mandir. Orang Jogja yang cenderung bersikap etnosentrisme berlebih-lebihan mungkin akan langsung menghujat tamu dari luar daerah tadi yang dirasa berseberangan terhadap budaya masyarakat Jogja. Namun bagi masyarakat yang memiliki sikap etnosentrisme yang fleksibel, tentu akan dengan mudah memahami perbedaan budaya pada individu/kelompok/daerah lain.
Sikap etnosentrisme memang tidak salah, selama pas porsinya, tidak membabi-buta dan tidak berlebih-lebihan. Sikap etnosentrisme justru amat diperlukan untuk menjaga kebutuhan dan kestabilan budaya, mempertinggi semangat patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa, serta memperteguh rasa cinta terhadap kebudayaan suatu bangsa. Namun tentu konteksnya kebangsaan, bukan fanatisme kedaerahaan apalagi kelompok. Nah dalam hal ini apabila etnosentrisme infleksibel dan fanatisme kedaerahan terus dibiarkan, tentu akan sangat mengganggu proses integrasi sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contohnya saja, terjadinya tawuran antar kampung gara-gara masalah pribadi, tawuran antar kampus, konflik antar kelompok agama, dan seterusnya. Tentu kita semua sepakat, tidak ingin konflik-konflik semacam itu terus terjadi hanya gara-gara etnosentrisme yang sempit dan fanatisme kedaerahan bukan?
Saya akan mencoba memberi alternative pemikiran dari Daft (1999), tentang etnorelativisme. Yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok, semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama. Dalam etnorelativisme, setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Pemikiran Daft tentang etnorelativisme ini mestinya mampu menyadarkan kita semua, bahwa jangan ada lagi fanatisme kedaerahan ataupun etnosentrisme yang sempit dan berlebih-lebihan. Walau sebenarnya pemikiran itu juga sudah terkandung secara umum dalam ideologi negara kita, Pancasila.
Kini bukan lagi saatnya menonjolkan ke-aku-an, ke-suku-an, ataupun ke-kami-an (eksklusif). Bukan pula waktunya mengungul-unggulkan kesukuannya/kelompoknya/daerahnya sendiri. Katakan dengan lantang “KITA ini bangsa INDONESIA. KITA siap bersatu-padu, berbakti dan mengabdi untuk kemajuan dan kejayaan NKRI. Tanpa menonjolkan individu, kelompok ataupun kedaerahan. KITA semua sama setara, tidak ada yang lebih rendah ataupun remeh! KITA siap mengawal NKRI dengan segenap jiwa raga KITA, bangsa Indonesia !”
Pernah diposting di : http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo
Pernah diposting di : http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo