Jumat, 19 Oktober 2012

Waspadai, Etnosentrisme dan Fanatisme Kedaerahan Ancaman bagi NKRI !

Di lingkungan perkampungan atau pedesaan saya kerapkali menyaksikan kehidupan masyarakat yang masih begitu kedaerahan. Saya amati dari interaksi sosial antar anggota masyarakatnya memang nampak kompak, seperti halnya adanya kegiatan gotong royong, pengajian rutin, arisan, dan lainnya. Namun yang amat sangat disayangkan adalah sikap fanatik terhadap kelompok (kedaerahan) yang terasa masih begitu kental dalam kehidupan masyarakat tersebut. Sebagai contoh, sikap atau keyakinan warga masyarakat yang menganggap bahwa kelompok/masyarakatnya lebih baik dari kelompok/masyarakat dari luar kampung/desa/daerah-nya. Bahkan terkadang ada beberapa kelompok masyarakat yang menganggap bahwa kelompoknya-lah yang terbaik. Bila ada kelompok masyarakat lain yang nampak mengungguli maka mereka akan berontak, karena tidak mau tersaingi. 

Ini membuktikan bahwa di dalam kehidupan masyarakat kita yang demokratis ini ternyata masih saja banyak warga masyarakat ataupun kelompok yang cenderung bersikap etnosentrisme secara berlebih-lebihan. Terlebih lagi dengan adanya otonomi daerah, yang salah satu dampaknya kian membuat masyarakat bersikap fanatik terhadap daerahnya masing-masing. Etnosentrisme sendiri menurut Matsumoto (1996) adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Ada lagi pendapat yang menjelaskan bahwa etnosentrisme merupakan suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya. 

Sebagai contoh, (maaf) misalkan ada orang dari luar Jogja yang kebetulan bertamu di daerah Jogja, lalu ia makan sambil ngomong dan berdiri atau jalan mondar-mandir. Orang Jogja yang cenderung bersikap etnosentrisme berlebih-lebihan mungkin akan langsung menghujat tamu dari luar daerah tadi yang dirasa berseberangan terhadap budaya masyarakat Jogja. Namun bagi masyarakat yang memiliki sikap etnosentrisme yang fleksibel, tentu akan dengan mudah memahami perbedaan budaya pada individu/kelompok/daerah lain. 

Sikap etnosentrisme memang tidak salah, selama pas porsinya, tidak membabi-buta dan tidak berlebih-lebihan. Sikap etnosentrisme justru amat diperlukan untuk menjaga kebutuhan dan kestabilan budaya, mempertinggi semangat patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa, serta memperteguh rasa cinta terhadap kebudayaan suatu bangsa. Namun tentu konteksnya kebangsaan, bukan fanatisme kedaerahaan apalagi kelompok. Nah dalam hal ini apabila etnosentrisme infleksibel dan fanatisme kedaerahan terus dibiarkan, tentu akan sangat mengganggu proses integrasi sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contohnya saja, terjadinya tawuran antar kampung gara-gara masalah pribadi, tawuran antar kampus, konflik antar kelompok agama, dan seterusnya. Tentu kita semua sepakat, tidak ingin konflik-konflik semacam itu terus terjadi hanya gara-gara etnosentrisme yang sempit dan fanatisme kedaerahan bukan? 

Saya akan mencoba memberi alternative pemikiran dari Daft (1999), tentang etnorelativisme. Yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok, semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama. Dalam etnorelativisme, setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Pemikiran Daft tentang etnorelativisme ini mestinya mampu menyadarkan kita semua, bahwa jangan ada lagi fanatisme kedaerahan ataupun etnosentrisme yang sempit dan berlebih-lebihan. Walau sebenarnya pemikiran itu juga sudah terkandung secara umum dalam ideologi negara kita, Pancasila. 

Kini bukan lagi saatnya menonjolkan ke-aku-an, ke-suku-an, ataupun ke-kami-an (eksklusif). Bukan pula waktunya mengungul-unggulkan kesukuannya/kelompoknya/daerahnya sendiri. Katakan dengan lantang “KITA ini bangsa INDONESIA. KITA siap bersatu-padu, berbakti dan mengabdi untuk kemajuan dan kejayaan NKRI. Tanpa menonjolkan individu, kelompok ataupun kedaerahan. KITA semua sama setara, tidak ada yang lebih rendah ataupun remeh! KITA siap mengawal NKRI dengan segenap jiwa raga KITA, bangsa Indonesia !”

Pernah diposting di : http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo

Strategi Jitu Atasi Tawuran Antar Pelajar

Tawuran antar pelajar yang marak terjadi pada akhir-akhir ini adalah sebuah catatan hitam bagi dunia pendidikan Indonesia. Ini tentu tidak bisa lagi kita anggap “sepele” sebagai kenakalan remaja belaka. Terlebih bila kita mempertimbangkan aksi tawuran tersebut yang telah memakan korban tewas. Ironis sekali memang! Tidak heran bila banyak pihak yang menyayangkan dan prihatin atas aksi yang sangat tidak terpuji tersebut. Mengapa seakan ada preman-preman kecil di sekolah? Bukankah sekolah itu tempat untuk belajar dan memperbanyak persahabatan? Mengapa justru mereka gunakan untuk unjuk kekuatan dan menebarkan permusuhan? 

Bila kita cermati ternya penyebab dari aksi tawuran antar pelajar itu hanyalah masalah-masalah yang amat sangat sepele. Seperti halnya karena kesalahpahaman. Namun karena adanya provokasi-provokasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, biasanya kesalahpahaman itu akan berujung pada aksi tawuran. Nah demi mempertahankan harga diri masing-masing kelompok/geng pelajar, akhirnya aksi yang sangat tidak terpuji itu kerap kali dipertontonkan seakan tanpa dosa. Hingga bahkan tega membunuh kawan sebayanya sendiri yang dianggapnya musuh. Tidakkah mereka sadar kalau sama-sama masih pakai seragam sekolah, sama-sama masih ingusan saat flu, sama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lalu kenapa mesti berlagak sok-sokan segala? Apakah kalian merasa sudah begitu hebat?

Mengamati maraknya aksi tawuran antar pelajar pada akhir-akhir ini, tidak bisa sepenuhnya kita menyalahkan para siswa/pelajar yang terlibat. Secara hukum maupun norma yang berlaku di masyarakat jelas aksi mereka itu salah dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Namun secara pendidikan dan pengajaran, bisa jadi mereka itu adalah korban dari keadaan/lingkungan sosial yang tidak kondusif. Keadaan/lingkungan sosial yang tidak kondusif tersebut tentu akan berpengaruh besar terhadap perkembangan mental/psikologi para siswa. Kondisi inilah yang biasanya akan memicu munculnya sekolah-sekolah yang rawan bermasalah. Biasanya sekolah-sekolah tersebut berlokasi dekat dengan terminal, pasar, pesisir pantai, dan seterusnya. 

Nah maka dari itu bagi sekolah-sekolah yang siswanya rawan bermasalah atau rawan terjadi kerusuhan tersebut mestinya berani menerapkan strategi-strategi khusus dalam membina karakter para siswanya. Menurut penulis ada beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh pihak sekolah yang memiliki anak didik rawan bermasalah antara lain sebagai berikut: 

*Memperbanyak kegiatan ekstrakurikuler yang unik dan menarik 
*Melaksanakan kegiatan outbond pembinaan karakter secara intensif 
*Mengadobsi program boarding school 
*Pembinaan karakter melalui even seni-budaya 
*Pelatihan keterampilan ataupun entrepreneurship, dan seterusnya. 

Pada intinya adalah bagaimana pihak sekolah mampu mengemas semua itu secara menarik, menyenangkan, dan fleksibel namun tetap inspiratif dan mendidik. Dengan strategi-strategi tersebut di atas diharapkan tidak ada lagi siswa-siswa atau pelajar yang tongkrongan/bergerombol tidak jelas sepulang sekolah. Melalui strategi-strategi ini diharapkan dapat menyalurkan energi berlebih para pelajar “generasi labil” kepada kegiatan-kegiatan yang lebih terarah, produktif dan positif tentunya.

Pernah diposting di : http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo 

Ojo Kemaki (Jangan Belagu)! Bersahajalah!

Mungkin diantara Anda sekalian masih agak asing, bahkan tergelitik ketika mendengar dua kata nyleneh ini. “Ojo Kemaki!” Bahkan diantara Anda mungkin akan bertanya-tanya apa sih “ojo kemaki” itu? Sejenis makanan kah? Apa yang istimewa dari dua kata sederhana ini? Nah untuk menjawab rasa penasaran Anda sekalian terkait ada apa dengan kata “ojo kemaki” saya akan mencoba menjabarkannya secara sederhana.

Kata-kata “ojo kemaki” memang bukanlah kosa kata Bahasa Indonesia. Kata-kata ini merupakan semacam sesanti dalam Bahasa Jawa. Mungkin masyarakat Jawa hampir sering mendengar kata-kata tersebut. Karena memang kata-kata “ojo kemaki” kerap kali digunakan oleh para orang tua Jawa untuk menasehati atau mengingatkan putra-putri-nya. Terkadang juga digunakan untuk menasehati atau mengingatkan orang yang suka sok-sokan. 

Saya sendiri selalu berusaha mengamalkan sesanti “ojo kemaki” yang saya dapatkan dari pendidikan di dalam keluarga. Sepintas kata-kata ini memang sederhana, namun kalau dihayati kita akan menemukan makna yang begitu bijak di dalamnya. Sesanti “ojo kemaki” dapat dimaknai jangan belagu, jangan sombong, jangan angkuh. Kalau orang Jawa sering mengatakan “ojo mbagusi, ojo sok-sokan, ojo gemedhe, ojo gegedhen sirah”. Jadi “ojo kemaki” mengandung makna agar kita sebagai manusia sebaiknya janganlah angkuh/sombong, tidak perlu belagu. Ingat, bahwa sehebat-hebatnya kita pasti masih ada banyak orang di luar sana yang jauh lebih hebat. Dan sejaya-jayanya kita, pastilah tetap memiliki kelemahan atau kekurangan.

Saya kerap kali mengamati kehidupan masyarakat yang kurang harmonis ternyata salah satu faktor penyebabnya juga karena masih banyaknya orang-orang yang “kemaki” alias belagu/sok-sokan. Contoh sederhananya saja, maraknya tawuran antarpelajar diantaranya juga karena sejak kecil mereka sudah terbiasa belagu/sok-sokan. Sehingga masing-masing individu pelajar merasa yang paling hebat dan kuat, maunya selalu menang, sedikit-sedikit marah/tersinggung, harga diri dianggap sebagai segalanya. Nah hal ini nantinya akan terus terbawa ketika mereka telah dewasa dan menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas. 

Akibatnya masyarakatnya pun akan menjadi “sakit”. Kenapa masyarakatnya bisa dibilang “sakit”? Karena banyak generasi-generasi yang “kemaki” alias besar kepala. Ironisnya lagi, diantara generasi-generasi “kemaki” itu pula yang beberapa diantaranya akan diamanahi sebagai pemimpin, sebagai agen perubahan bangsa, dan sebagainya. Nah apa yang Anda bayangkan sekarang? Korupsi, kolusi dan nepotisme meraja lela. Kekerasan, tawuran, premanisme, terorisme, radikalisme, dan aksi anarkisme menjamur dimana-mana. Saling hasut, saling sikut, saling fitnah pun dianggap biasa. Apakah ini Indonesia yang kita harapkan bersama? 

Katakan TIDAK bila Anda memang masih menginginkan Indonesia yang lebih beradab, Indonesia yang berjaya, Indonesia yang aman, tentram dan damai. Untuk mewujudkan semua itu kita bersama mesti menjauhi yang namanya perilaku “kemaki” alias besar kepala, sombong, angkuh, belagu, sok-sokan dan sejenisnya. Mari kita mulai dari diri sendiri, lalu ajak orang-orang terdekat kita terutama keluarga, biarkan orang lain terinspirasi dan mencontoh perilaku kita tersebut dengan kesadaran mereka sendiri. Budaya hidup penuh kesahajaan, tanpa menonjolkan kehebatan diri secara berlebih-lebihan nampaknya mesti kita bangun bersama.

Pernah diposting di : http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo

Kau Pikir Ibu Pertiwi Akan Bilang WOW gitu?

gambar from google.com


Demi ibu pertiwi yang tengah bersedih hati 
Katakanlah wahai sahabat 
Katakanlah sepenggal cinta yang tulus 
Dari lubuk jiwa mu yang kosong 

Lihatlah sahabat! 
Lihatlah dengan nurani mu yang terdalam 
Kau biarkan ibu pertiwi terluka hati 
Menangis akan kelakuan jahanam mu 

Ingat-ingatlah anak manis 
Dengan mudahnya kekerasan kau lakukan 
Bahkan hanya karena hal yang amat sangat sepele 
Dengan teganya kau tebar permusuhan 
Demi ego dan arogansimu 

Kau pikir ibu pertiwi akan bilang WOW gitu? 
Tidak sahabat! 
Kenakalanmu itu telah melampaui batas 
Biarkan ibu pertiwi menjewer kuping manismu 
Agar kau tersadar 

Sahabat bukalah akal pikiran juga nurani mu 
Jangan kau pikir ibu pertiwi akan bangga dengan kekuatan otot mu 
Jangan kau pikir ibu pertiwi akan bangga dengan kelakuan sok-sokan yang kau pertontonkan 
Jangan kau pikir ibu pertiwi akan bangga dengan keberanian mu yang brutal itu 

Sudahilah segala permusuhan 
Karena sungguh tidak ada gunanya 
Jadilah anak manis bagi ibu pertiwi 
Berjanjilah…berbaktilah…mengabdilah kepadanya 
Dengan seutuh jiwa raga mu 

Ruang Kata 29-09-2012