Tawuran antar pelajar yang marak terjadi pada akhir-akhir ini adalah sebuah catatan hitam bagi dunia pendidikan Indonesia. Ini tentu tidak bisa lagi kita anggap “sepele” sebagai kenakalan remaja belaka. Terlebih bila kita mempertimbangkan aksi tawuran tersebut yang telah memakan korban tewas. Ironis sekali memang! Tidak heran bila banyak pihak yang menyayangkan dan prihatin atas aksi yang sangat tidak terpuji tersebut. Mengapa seakan ada preman-preman kecil di sekolah? Bukankah sekolah itu tempat untuk belajar dan memperbanyak persahabatan? Mengapa justru mereka gunakan untuk unjuk kekuatan dan menebarkan permusuhan?
Bila kita cermati ternya penyebab dari aksi tawuran antar pelajar itu hanyalah masalah-masalah yang amat sangat sepele. Seperti halnya karena kesalahpahaman. Namun karena adanya provokasi-provokasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, biasanya kesalahpahaman itu akan berujung pada aksi tawuran. Nah demi mempertahankan harga diri masing-masing kelompok/geng pelajar, akhirnya aksi yang sangat tidak terpuji itu kerap kali dipertontonkan seakan tanpa dosa. Hingga bahkan tega membunuh kawan sebayanya sendiri yang dianggapnya musuh. Tidakkah mereka sadar kalau sama-sama masih pakai seragam sekolah, sama-sama masih ingusan saat flu, sama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lalu kenapa mesti berlagak sok-sokan segala? Apakah kalian merasa sudah begitu hebat?
Mengamati maraknya aksi tawuran antar pelajar pada akhir-akhir ini, tidak bisa sepenuhnya kita menyalahkan para siswa/pelajar yang terlibat. Secara hukum maupun norma yang berlaku di masyarakat jelas aksi mereka itu salah dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Namun secara pendidikan dan pengajaran, bisa jadi mereka itu adalah korban dari keadaan/lingkungan sosial yang tidak kondusif. Keadaan/lingkungan sosial yang tidak kondusif tersebut tentu akan berpengaruh besar terhadap perkembangan mental/psikologi para siswa. Kondisi inilah yang biasanya akan memicu munculnya sekolah-sekolah yang rawan bermasalah. Biasanya sekolah-sekolah tersebut berlokasi dekat dengan terminal, pasar, pesisir pantai, dan seterusnya.
Nah maka dari itu bagi sekolah-sekolah yang siswanya rawan bermasalah atau rawan terjadi kerusuhan tersebut mestinya berani menerapkan strategi-strategi khusus dalam membina karakter para siswanya. Menurut penulis ada beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh pihak sekolah yang memiliki anak didik rawan bermasalah antara lain sebagai berikut:
*Memperbanyak kegiatan ekstrakurikuler yang unik dan menarik
*Melaksanakan kegiatan outbond pembinaan karakter secara intensif
*Mengadobsi program boarding school
*Pembinaan karakter melalui even seni-budaya
*Pelatihan keterampilan ataupun entrepreneurship, dan seterusnya.
Pada intinya adalah bagaimana pihak sekolah mampu mengemas semua itu secara menarik, menyenangkan, dan fleksibel namun tetap inspiratif dan mendidik. Dengan strategi-strategi tersebut di atas diharapkan tidak ada lagi siswa-siswa atau pelajar yang tongkrongan/bergerombol tidak jelas sepulang sekolah. Melalui strategi-strategi ini diharapkan dapat menyalurkan energi berlebih para pelajar “generasi labil” kepada kegiatan-kegiatan yang lebih terarah, produktif dan positif tentunya.
Pernah diposting di : http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo
Pernah diposting di : http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar