Jumat, 19 Oktober 2012

Ojo Kemaki (Jangan Belagu)! Bersahajalah!

Mungkin diantara Anda sekalian masih agak asing, bahkan tergelitik ketika mendengar dua kata nyleneh ini. “Ojo Kemaki!” Bahkan diantara Anda mungkin akan bertanya-tanya apa sih “ojo kemaki” itu? Sejenis makanan kah? Apa yang istimewa dari dua kata sederhana ini? Nah untuk menjawab rasa penasaran Anda sekalian terkait ada apa dengan kata “ojo kemaki” saya akan mencoba menjabarkannya secara sederhana.

Kata-kata “ojo kemaki” memang bukanlah kosa kata Bahasa Indonesia. Kata-kata ini merupakan semacam sesanti dalam Bahasa Jawa. Mungkin masyarakat Jawa hampir sering mendengar kata-kata tersebut. Karena memang kata-kata “ojo kemaki” kerap kali digunakan oleh para orang tua Jawa untuk menasehati atau mengingatkan putra-putri-nya. Terkadang juga digunakan untuk menasehati atau mengingatkan orang yang suka sok-sokan. 

Saya sendiri selalu berusaha mengamalkan sesanti “ojo kemaki” yang saya dapatkan dari pendidikan di dalam keluarga. Sepintas kata-kata ini memang sederhana, namun kalau dihayati kita akan menemukan makna yang begitu bijak di dalamnya. Sesanti “ojo kemaki” dapat dimaknai jangan belagu, jangan sombong, jangan angkuh. Kalau orang Jawa sering mengatakan “ojo mbagusi, ojo sok-sokan, ojo gemedhe, ojo gegedhen sirah”. Jadi “ojo kemaki” mengandung makna agar kita sebagai manusia sebaiknya janganlah angkuh/sombong, tidak perlu belagu. Ingat, bahwa sehebat-hebatnya kita pasti masih ada banyak orang di luar sana yang jauh lebih hebat. Dan sejaya-jayanya kita, pastilah tetap memiliki kelemahan atau kekurangan.

Saya kerap kali mengamati kehidupan masyarakat yang kurang harmonis ternyata salah satu faktor penyebabnya juga karena masih banyaknya orang-orang yang “kemaki” alias belagu/sok-sokan. Contoh sederhananya saja, maraknya tawuran antarpelajar diantaranya juga karena sejak kecil mereka sudah terbiasa belagu/sok-sokan. Sehingga masing-masing individu pelajar merasa yang paling hebat dan kuat, maunya selalu menang, sedikit-sedikit marah/tersinggung, harga diri dianggap sebagai segalanya. Nah hal ini nantinya akan terus terbawa ketika mereka telah dewasa dan menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas. 

Akibatnya masyarakatnya pun akan menjadi “sakit”. Kenapa masyarakatnya bisa dibilang “sakit”? Karena banyak generasi-generasi yang “kemaki” alias besar kepala. Ironisnya lagi, diantara generasi-generasi “kemaki” itu pula yang beberapa diantaranya akan diamanahi sebagai pemimpin, sebagai agen perubahan bangsa, dan sebagainya. Nah apa yang Anda bayangkan sekarang? Korupsi, kolusi dan nepotisme meraja lela. Kekerasan, tawuran, premanisme, terorisme, radikalisme, dan aksi anarkisme menjamur dimana-mana. Saling hasut, saling sikut, saling fitnah pun dianggap biasa. Apakah ini Indonesia yang kita harapkan bersama? 

Katakan TIDAK bila Anda memang masih menginginkan Indonesia yang lebih beradab, Indonesia yang berjaya, Indonesia yang aman, tentram dan damai. Untuk mewujudkan semua itu kita bersama mesti menjauhi yang namanya perilaku “kemaki” alias besar kepala, sombong, angkuh, belagu, sok-sokan dan sejenisnya. Mari kita mulai dari diri sendiri, lalu ajak orang-orang terdekat kita terutama keluarga, biarkan orang lain terinspirasi dan mencontoh perilaku kita tersebut dengan kesadaran mereka sendiri. Budaya hidup penuh kesahajaan, tanpa menonjolkan kehebatan diri secara berlebih-lebihan nampaknya mesti kita bangun bersama.

Pernah diposting di : http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar