Jumat, 31 Desember 2010

Menyambut 2011

SEMANGAT BARU.........

PASTI BISA


MENJADI LEBIH BAIK


#OPTIMIS

Selasa, 30 November 2010

Menanti Ketegasan Sikap Pemerintah

Kasus Sumiati seorang TKW yang mulutnya digunting oleh majikannya serta tewasnya Kikim Komalasari seorang TKW asal Cianjur – Jawa Barat yang dibunuh oleh majikannya di Arab Saudi menunjukkan bahwa derita kekerasan masih terus mengancam para TKW yang bekerja di luar negeri.

Kasus kekerasan yang menimpa para TKW yang bekerja di luar negeri mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dari waktu ke waktu masih saja terjadi kasus yang sama. Mulai dari kekerasan terhadap fisik, tindakan pelecehan seksual (perkosaan), hingga bahkan pembunuhan terhadap TKW oleh majikan ataupun atasannya. Tidak jarang pula yang mengalami kekerasan psikis, seperti ancaman hingga gaji yang tidak kunjung diberikan walaupun telah memenuhi pekerjaan. 

Walaupun demikian berat resiko yang harus dihadapi, faktanya setiap tahun jumlah TKW Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri tetap saja tinggi. Secara umum banyak factor yang mendorong para TKW memutuskan bekerja di luar negeri walaupun berat resikonya. Di samping karena kegagalan Pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan “yang layak” di dalam negeri, hal itu juga didorong oleh iming-iming gaji yang lebih tinggi jika bekerja di luar negeri. Sehingga setiap tahun tetap banyak TKW yang nekad bekerja di luar negeri, baik itu melalui jalur legal maupun illegal.

Pada umumnya para TKW tersebut bekerja di sector informal atau sebagai pembantu rumah tangga. Sehingga rentan sekali terhadap tindakan kekerasan maupun pelecehan seksual yang dilakukan oleh majikannya. Dan itulah yang kerap kali dialami para TKW Indonesia. Di sisi yang lain diantara para TKW itu juga terkadang memang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi TKWdi luar negeri. Namun tetap nekad berangkat melalui jalur-jalur yang tidak resmi (illegal). Jika sudah begitu, ketika terjadi masalah di Negara yang dituju, tentu akan sulit dalam mengurusnya. 

Ironisnya Pemerintah terkesan selalu telat dan lambat dalam menangani berbagai kasus kekerasan yang menimpa para “pahlawan devisa” itu. Pemerintah baru bertindak setelah kasus kekerasan terjadi dan mencuat di berbagai media. Sementara itu nasip TKW yang menjadi korban sudah sangat memprihatinkan. Sikap Pemerintah ini sebaiknya perlu dirubah, jangan bertindak latah setelah kejadian. Maka langkah ke depan Pemerintah harus selalu memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan para penyokong devisa Negara yang terbesar itu. Jangan sampai terjadi kecolongan lagi terhadap TKW lainnya.

Dalam hal ini Pemerintah harus berani bersikap lebih tegas dengan memaksa negara-negara dimana terdapat TKW dari Indonesia untuk bersama-sama menandatangani nota perjanjian (MoU). Melalui MoU itu Pemerintah harus menuntut adanya jaminan keselamatan terhadap para TKW Indonesia yang berada di luar negeri. Pemerintah juga harus berani memberikan semacam sanksi tegas terhadap Negara-negara yang bersangkutan. Misalnya saja dengan membayar sejumlah denda atau penghentian penyaluran TKW ke Negara tersebut. Sebab ini menyangkut harga diri sebuah bangsa. Masyarakat kini benar-benar menantikan ketegasan sikap Pemerintah tersebut.

Senin, 15 November 2010

Perlu Adanya Perbaikan Sistem

Saat ini jika kita cermati pendidikan di Indonesia masih saja dihadapkan pada banyak permasalahan yang begitu rumit dan kompleks. Banyak kasus dan penyimpangan-penyimpangan yang semakin menggurita di tubuh pendidikan kita. Berbagai indicator pun menggambarkan betapa masih rendahnya mutu pendidikan kita di mata dunia. Di sisi lain terdapat seabrek permasalahan internal yang sampai sekarang ini belum juga terpecahkan.

Permasalahan-permasalahan tersebut terjadi hampir pada seluruh tataran pendidikan kita, baik pada tataran makro maupun mikro. Dan itu tersebar mulai dari masalah kurikulum dan guru sampai pada masalah desentralisasi serta otonomi pendidikan. Belum lagi soal rendahnya moralitas output pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, kastanisasi atau privatisasi pendidikan, dsb. Dalam hal ini termasuk di dalamnya masalah pro-kontra UN yang belum juga menemukan titik temu.

Semua itu menunjukkan betapa carut-marutnya dunia pendidikan di Indonesia. Atau bahasa kasarnya dunia pendidikan yang “amburadul”. Jika diruntut tentu ada banyak factor yang menyebabkan carut-marutnya dunia pendidikan kita saat ini. Dengan kata lain tidak mungkin ada api tanpa ada asap. Menurut pandangan penulis amburadulnya pendidikan di Indonesia lebih disebabkan oleh kesalahan pada sistem pendidikan nasional kita. Dimana sekarang ini sisdiknas yang ada terbukti gagal menghasilkan output pendidikan yang berkualitas serta bermoral. Di samping itu sisdiknas kita saat ini belum mampu beradabtasi dengan tuntutan zaman. Dandi luar itu masih banyak keganjilan-keganjilan lain pada sisdiknas kita.

Maka dari itu solusi bijak dalam membenahi dunia pendidikan kita adalah dengan mereformasi pendidikan itu sendiri, terutama peninjauan kembali sistem pendidikan nasional kita. Sebab itulah akar persoalan dari ambudarulnya pendidikan kita. Ibaratnya sistem itu adalah jantung dari sebuah proses pendidikan. Jika jantungnya saja mengalami kelainan tentu proses yang terjadi menjadi tidak normal seperti semestinya. Jadi intinya perbaiki dahulu sistem pendidikan nasional kita. Idealnya sistem pendidikan nasional kita harus proaktif, fleksibel, demokratis serta berkeadilan.

Perang Melawan Nepotisme

Praktik nepotisme di Indonesia memang sudah ada sejak masa orde baru, dimana saat itu pejabat strategis didominasi oleh keluarga dan kolega-kolega penguasa. Hingga kini praktik-praktik nepotisme tersebut terus tumbuh subur bagaikan jamur di tubuh NKRI, dan semakin menggurita dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Bahkan kini praktik-praktik nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan pejabat, namun juga dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat kita secara berjamaah. Ini membuktikan bahwa tindakan nepotisme sudah mendarah daging atau membudaya pada masyarakat kita umumnya.

Praktik nepotisme memang tidak begitu nampak jelas seperti tindakan korupsi ataupun kolusi. Namun jika terus dibiarkan ini akan menjadi semacam bom waktu bagi bangsa Indonesia. Boleh dibilang bahwa nepotisme merupakan musuh dalam selimut di tubuh NKRI. Maka perang melawan segala praktik nepotisme di tanah air adalah sebuah keharusan yang amat mendesak kita lakukan bersama.

Perang melawan nepotisme memang tidak semudah yang dibayangkan. Namun paling tidak harus ada komitmen bersama dalam wujud tindakan nyata untuk melawan segala bentuk praktik nepotisme. Dan itu semua bisa berhasil manakala diawali dengan niatan yang tulus dari masing-masing pribadi kita.

Perang Melawan Nepotisme

Praktik nepotisme di Indonesia memang sudah ada sejak masa orde baru, dimana saat itu pejabat strategis didominasi oleh Keluarga Cendana dan kolega-kolega militer Pak Soeharto. Hingga kini praktik-praktik nepotisme tersebut terus tumbuh subur bagaikan jamur di tubuh NKRI, dan semakin menggurita dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Bahkan kini praktik-praktik nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan pejabat, namun juga dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat kita secara berjamaah. Ini membuktikan bahwa tindakan nepotisme sudah mendarah daging atau membudaya pada masyarakat kita umumnya.

Praktik nepotisme memang tidak begitu nampak jelas seperti tindakan korupsi ataupun kolusi. Namun jika terus dibiarkan ini akan menjadi semacam bom waktu bagi bangsa Indonesia. Boleh dibilang bahwa nepotisme merupakan musuh dalam selimut di tubuh NKRI. Maka perang melawan segala praktik nepotisme di tanah air adalah sebuah keharusan yang amat mendesak kita lakukan bersama.

Perang melawan nepotisme memang tidak semudah yang dibayangkan. Namun paling tidak harus ada komitmen bersama dalam wujud tindakan nyata untuk melawan segala bentuk praktik nepotisme. Dan itu semua bisa berhasil manakala diawali dengan niatan yang tulus dari masing-masing pribadi kita.

Selasa, 09 November 2010

Mahasiswa Siaga Bencana

Bencana alam yang terjadi silih berganti pada akhir-akhir ini memang menuntut gerak cepat dari berbagai pihak; mulai dari pemerintah (baik daerah maupun pusat), Bazarnas, BNPB, LSM, lembaga-lembaga pemerintahan, serta seluruh warga masyarakat yang ada. Bencana alam yang terjadi sekarang ini seringkali tidak dapat diprediksi. Contohnya letusan gunung merapi di Sleman-Yogyakarta dan tsunami di Mentawai. Tidak bisa dipungkiri negara kita ini memang termasuk wilayah yang sangat rawan akan bencana alam. Untuk itu perlu selalu ada kesiagaan dari berbagai kalangan. Kesiagaan Pemerintah saja terbukti tidak cukup efektif dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam di tanah air. Dalam hal ini tentu perlu adanya partisipasi serta peran serta aktif dari para mahasiswa.

Ketika bencana alam datang silih berganti seperti sekarang ini, para mahasiswa harus siap turut serta aktif dalam penanganan bencana di tanah air. Baik itu diminta maupun atas keikhlasan dan kesadaran diri. Kita sebagai mahasiswa harus menjadi mahasiswa yang siaga bencana, dalam artian tanggap jika suatu waktu terjadi bencana. Bukan justru menyelamatkan diri sendiri saat bencana terjadi, namun sebagai mahasiswa harus turut berperan aktif dalam melakukan evakuasi terhadap para korban bencana. Atau paling tidak para mahasiswa bisa menjadi relawan maupun koordinator di lokasi bencana.

Di sisi lain kita para mahasiswa juga bisa berpartisipasi sebagai dermawan. Tentu bukan seberapa besar jumlah uang atau nilai barang yang disumbangkan. Namun yang lebih penting adalah keikhlasan berbagi dan nilai guna dari apa yang kita sumbangkan itu. Bisa berupa makanan, pakaian, obat-obatan, dsb. Sebagai mahasiswa yang memiliki banyak jaringan kita juga bisa menjadi relawan/coordinator dalam pengumpulan dana bantuan untuk para korban bencana alam di tanah air. Bisa melalui posko-posko mahasiswa ataupun aksi penggalangan dana di masyarakat.

Politik Ala Mahasiswa

Pada setiap dinamika kebangsaan yang terjadi di tanah air mahasiswa memang hampir tidak pernah absen untuk turut berperan aktif di dalamnya. Itu semua merupakan wujud nyata darma mahasiswa terhadap bangsa dan Negara. Apalagi sebagai kaum intelektual mahasiswa juga menyandang gelar sebagai agen perubahan (agent of change). Dalam hal ini ada dua tanggungjawab besar yang harus diemban oleh seorang mahasiswa, yaitu tanggungjawab akademik dan tanggungjawab sosial. Tanggungjawab akademik terkait dengan tanggungjawab pengembangan dunia keilmuwan serta penerapannya dalam masyarakat. Tanggungjawab akademik menuntut mahasiswa untuk belajar sesuai dengan bidang keilmuwan yang diambilnya. Sedangkan tanggungjawab sosial mahasiswa tidak bisa dipisahkan dengan peran mahasiswa sebagai agent of change.

Dalam menjalankan peran sebagai agent of change idealnya tugas seorang mahasiswa tidak hanya menyerukan gerakan perubahan semata, namun juga gerakan-gerakan pembaharuan yang inovatif dalam wujud nyata. Dan untuk mencapai semua itu tidak bisa dilepaskan dari ranah politik. Kita pun masih ingat dengan jelas betapa melalui kekuatan politik para mahasiswa berhasil menumbangkan hegemoni dan rezim otoriter yang berkuasa waktu itu. Maka jika ditanya “haruskah mahasiswa berpolitik?”, menurut pandangan penulis pribadi ya mahasiswa memang perlu “berpolitik”. Politik ala mahasiswa tentu harus dibedakan dengan politik “ala” anggota dewan yang hanya berorientasi kekuasaan dan kesejahteraan kelompoknya semata. Politik ala mahasiswa idealnya berorientasi pada gerakan politik nilai dan moral.

Mahasiswa sebagai actor utama gerakan politik nilai dan moral dapat memainkan dua peran penting sekaligus, yaitu control social dan social pressure. Posisi mahasiswa sebagai kontrol sosial terkait tanggungjawab mahasiswa dalam ikut serta mengawasi dan mengawal jalannya demokrasi serta kepemimpinan politik. Dalam hal ini bukan berarti mahasiswa haus akan kekuasaan, namun lebih pada memainkan peran agar demokrasi dan politik tetap berjalan pada rel yang semestinya. Sedangkan sebagai social pressure mahasiswa memainkan peran menjadi tekanan sosial atas segala ketidakadilan serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.

Jadi menurut pandangan penulis seorang mahasiswa memang perlu belajar “berpolitik”. Di samping sebagai sebuah pembelajaran, berpolitik dalam artian gerakan nilai dan moral yang dilakukan oleh mahasiswa saat ini sangat diperlukan untuk mengawal jalannya demokrasi di tanah air. Gerakan politik nilai dan moral ini bisa diwujudkan melalui beberapa hal, misalnya; orasi budaya, demonstrasi yang beretika, kritik melalui tulisan, dll. Gerakan politik ala mahasiswa idelnya gerakan yang berbasis moral dan intelektual. Sehingga harus cerdas serta tetap mengedepankan etika.

Sabtu, 04 September 2010

Bersahabat dengan Kesendirian, Bukan berarti Egois!

Hai para sahabat pembaca sekalian, pernahkah Anda melihat orang yang nampaknya selalu hidup dalam kesendirian. Pernahkah sahabat pembaca sekalian menyaksikan orang-orang yang nampaknya tidak punya kawan atau teman, dan lebih sering dalam kesendirian. Biasanya kita sering kali mencemooh orang yang nampak selalu sendiri atau kurang dalam bersosialisasi dengan sebutan “manusia individualis atau manusia egois”.Benarkah mereka itu patut kita sebut sebagai “manusia individualis” atau manusia egois”?

Menurut saya pribadi sebenarnya tidak selamanya cap itu patut kita berikan kepada mereka orang-orang yang suka dalam kesendirian. Bahkan seringkali tidak tepat, sebab bersahabat dengan kesendirian merupakan sebuah pilihan hidup. Kita tahu hidup ini penuh dengan pilihan. Kita boleh memilih apapun yang kita yakini, asalkan tetap sesuai dengan kaidah-kaidah dan berjalan pada rel kehidupan yang tepat. Sebenarnya mungkin tidak ada yang ingin bersahabat dengan kesendirian, karena sifat alamiah manusia yang ingin selalu bersosialisasi dan diakui eksistensinya. Namun ada banyak factor yang mendorong seseorang untuk lebih memilih hidup dalam kesendirian.

Pada zaman globalisasi seperti sekarang ini terkadang juga menjadi pemicu seseorang untuk lebih memilih bersahabat dengan kesendirian. Misalnya saja seseorang memilih bersahabat dengan kesendirian karena merasa tidak cocok atau tidak nyaman hidup di lingkungannya. Mungkin lingkungannya kurang mendukung seseorang itu untuk diakui eksistensinya. Bisa jadi factor pemicunya karena seseorang selalu dicemooh atau diejek dalam kehidupan sosialnya. Sehingga mungkin orang itu merasa rendah diri, minder, frustasi, stress, dsb yang pada akhirnya memutuskan untuk bersahabat dengan kesendirian. Mungkin orang-orang seperti itu merasa lebih enjoy ketika hidup dalam kesendiriannya.

Namun yang ingin saya tekankan dalam hal ini bagaimana kita menyikapi dengan baik terhadap orang-orang yang lebih suka “bersahabat dengan kesendirian”. Yang harus kita pahami dan sadari bersama saat ini adalah tidak selamanya orang-orang yang cenderung bersahabat dengan kesendiriannya itu bersifat negative. Dan bisa dengan seenaknya kita cap sebagai orang yang individualis atau manusia egois. Mengapa? Kembali lagi harus kita lihat secara bijak dan komprehensif semua itu. Jangan melihat dan menilai segala sesuatu terutama “menilai seorang manusia” dengan hanya memandang satu sisi atau dalam satu sudut pandang saja. Karena memang setiap manusia itudiciptakan oleh Tuhan atau Allah SWT dengan berbeda-beda dan memiliki keunikan khusus pada masing-maing pribadi. Manusia bisa dibilang makhluk Allah SWT yang paling unik dibandingkan makhluk ciptaan Allah yang lainnya.

Nah dalam “menilai seseorang” kita tidak berhak menghakimi atau bahkan memvonisnya dengan sesuka kita. Sebab yang lebih berhak menilai seseorang itu hanyalah Allah SWT semata. Kita sebagai manusia biasa tentu dalam menilai seseorang ada batasannya. Karena sesama makhluk ciptaan-Nya setiapdiri kita pun memiliki ketidaksempurnaan. Sehingga dalam hidup ini sebisa mungkin kita harus menjadi pribadi yang bijaksana. Kemabli lagi, bahwa bersahabat dengan kesendirian itu tidak-lah selamanya karena sifat egois atau individualis pada diri seseorang. Ada banyak alasan yang memicu seseorang lebih memilih bersahabat dengan kesendirian seperti yang telah saya jelaskan di atas. 

Faktor pemicu lain yaitu mungkin saja orang tersebut ingin lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab dari pengamatan saya selama ini, menemukan ada beberapa orang yang sering dicap “egois”, “individualis”, “tidak punya teman”, “tidak sosial” dan sebagainya, namun di balik semua itu ternyata SUBHANALLAH orang tersebut justru sangat peduli dan rasa sosialnya pun sangat tinggi. Hanya saja “mereka” itu lebih memilih untuk tidak diketahui oleh orang lain. “Mereka” ingin berbuat suatu kebaikan tanpa diketahui oleh orang lain, cukup dilihat Allah saja. Tentu ini hak “mereka” dan sebuah jalan hidup yang “mereka” pilih. Kita sebagai manusia biasa tidak memiliki hak untuk menilai seseorang atas sudut pandang kita semata.

Sedikit cerita nyata, saya punya seorang sahabat yang tidak mau disebutkan namanya. Dia merupakan seseorang yang “nampaknya” dari sudut pandang manusia biasa ia terlihat memilih bersahabat dengan kesendirian. Padahal nyatanya sahabat saya itu sangat peduli terhadap sesama, baik sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Bahkan ia juga sangat peduli akan bangsa dan negaranya. Ia seringkali menyebarkan semangat perdamaian dan nasionalisme terutama melalui tulisan-tulisannya. Ia juga tidak segan-segan turun sejenak di jalan saat melihat ada batu ataupun benda di tengah jalan, yang ia rasa bisa membahayakan keselamatan para pengguna jalan. Namun tak ada orang yang tahu, bahkan ia seringkali dicap manusia yang kurang sosial, orang tertutup, egois , dan cap-cap lainnya. Sahabat saya yang satu ini tetap tidak peduli akan cap-cap itu. Dan ia pun tidak pernah menginginkan perbuatannya itu dilihat, dipuji, ataupun diekspose oleh orang lain. Ia lebih memilih hanya Allah semata yang menilainya.

Sesungguhnya setiap kita para manusia butuh saat-saat kesendirian. Karena kesendirian merupakan waktu untuk introspeksi diri, waktu untuk menata hati, waktu untuk mengasah ketajaman dan kepekaan naluri serta nurani kita. Kesendirian juga bisa disebut sebagai sebuah seni. Yaitu seni untuk menemukan dan mengolah bakat, segala potensi, serta kemampuan yang ada pada diri kita. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah seni untuk lebih mendekatkan diri kita kepada Allah sang Maha Pencipta. 

Jika kita menengok sejarah, ada banyak manusia yang jiwa dan pemikirannya menjadi besar serta mencerahkan dunia di balik kesendiriannya . Mereka merupakan manusia mulia yang mampu berkontemplasi, dan saat kesendiriannya mampu berdialog dengan sang diri. Mereka itu antara lain; Nabi Muhammad SAW, Kahlil Gibran, Mahatma Gandi, Siddhartha Gautama, Soekarno, dan masih banyak lagi lainnya. Kita bisa melihat betapa kesendirian telah menuntun mereka menemukan hakikat dan inti dari kebenaran-kehidupan. Di samping itu dibalik kesendiriannya mereka mampu menuntun umat manusia untuk meniti jalan cahaya-Nya.

Pada akhirnya marilah kita renungkan kembali semua ini. Bersahabat dengan kebersamaan memang lebih indah dibandingkan jika bersahabat dengan kesendirian. Namun ada banyak hal yang hanya bisa kita rasakan saat-saat kesendirian. Dibalik kesendirian itu kita bisa temukan jati diri yang sesungguhnya. Dalam kesendirian, mendidik jiwa kita menjadi lebih kuat dalam menghadapi kehidupan. Dalam kesendirian kita dapat rasakan keheningan, ketentraman, serta kedamaian yang sejati dalam hati. Hanya dalam kesendirian pula kita dapat merasakan kehadiran Tuhan. Sebab dalam kesendirian dalam kesendirian manusia sesungguhnya Tuhan begitu dekat. Saat-saat itulah Tuhan merindukan rintihan umat-Nya.

Sekali lagi saya tekankan, bersahabat dengan kesendirian merupakan sebuah pilihan hidup. Dan jangan pernah kita samakan hal itu dengan ke-egois-an atau individualisme. Bersikap bijak dalam segala hal itu sesungguhnya lebih mulia.dan disukai oleh-Nya. Maka jangan pernah menilai seseorang hanya dari satu sisi atau sudut pandang kita semata. Allah SWT –lah satu-satunya zat yang berhak menilai manusia. Perlu kita ketahui dan sadari bersama, tentu berjuang dalam kebersamaan itu lebih terasa ringan, indah dan sudah sewajarnya. Namun ada sebagian orang yang lebih memilih rela berjuang dalam kesendiriannya. “Mereka” berjuang dengan tulus ikhlas dan tak mau pamer, tak mengharapkan penghargaan maupun pujian, apalagi sekedar mencari sensasi di depan layar kaca dunia yang semu ini. 

Nah kembali lagi pada diri pribadi masing-masing kita, apakah mau memilih bersahabat dalam kebersamaan ataukah bersahabat dengan kesendirian.Yang ideal menurut saya pribadi adalah kita harus bersikap sewajarnya. Kita harus mampu bersosialisasi dalam ikatan kebersamaan. Namun kita jangan sampai hanyut tenggelam dalam arus kebersamaan itu. Setiap diri kita dianugerahi potensi, bakat, minat dan keunikan yang tidak sama oleh-Nya. Maka kita harus memiliki keunikan itu, yang mana kita pegang teguh menjadi identitas diri dan karakter pribadi kita. Jangan selalu beranggapan bahwa yang mayoritas itu adalah benar, yang dikerjakan banyak orang itu pasti tepat. Ingat, tidak semua yang disepakati bersama oleh “mayoritas” manusia selalu baik dan benar di mata Allah SWT. Marilah kita kembalikan segalanya hanya kepada Allah semata, sang Maha Pencipta.

Sabtu, 31 Juli 2010

Menggugat Eksklusivisme Pendidikan

Setiap memasuki tahun ajaran baru dalam pendidikan, hampir bisa dipastikan selalu menyisakan berbagai permasalahan yang masih saja terjadi di dalamnya. Para orangtua murid pun dibuat cemas dan sedih dengan semakin melambungnya “harga pendidikan” yang seolah tidak mau kalah dengan kenaikan harga TDL dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya. Rasanya kini semakin sulit mencari sekolah yang tetap idealis dan merakyat. Nampaknya virus kapitalisme global benar-benar telah berhasil menjangkit sistem pendidikan kita sekarang ini. Sehingga membangkitkan hasrat komersialisasi di dalam pendidikan melalui berbagai cara dan media (alat). 

Sejumlah kasus pungutan biaya sangat tinggi oleh beberapa sekolah yang marak terjadi pada setiap tahun ajaran baru menjadi bukti nyata adanya komersialisasi di dalam tubuh pendidikan kita. Apalagi pungutan biaya sangat tinggi yang liar itu untuk sejumlah kebutuhan sekolah yang sesungguhnya tidak substansial dalam proses pendidikan. Salah satu kasus yang cukup mencengangkan akhir-akhir ini yaitu pungutan biaya seragam sekolah yang sangat tinggi, bahkan ada yang mencapai Rp 1,8 juta per siswa. Ini tentu sangat memprihatinkan, karena disamping memberatkan para orangtua atau wali murid, otomatis juga akan menutup kesempatan bagi kaum miskin yang sejatinya memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan berkualitas.

Seragam sekolah pada awal digulirkannya memang memiliki tujuan yang mulia, yakni untuk menghapus kesenjangan sosial-ekonomi antar siswa. Sehingga tidak timbul kecemburuan sosial antara siswa yang kaya dengan siswa yang berasal dari kelurga kurang mampu. Akan tetapi saat ini tujuan mulia dari seragam sekolah telah menyimpang menjadi alat eksklusivitas sekolah. Buktinya kini dalam satu sekolah saja setiap siswa memiliki banyak jenis seragam beserta atribut dan aksesoris pelengkap lainnya. Hal ini tentu menuntut biaya pungutan cukup besar yang ditanggungkan kepada para wali siswa. Padahal banyaknya seragam beserta atribut/aksesorisnya itu tidak ada korelasinya terhadap esensial proses pendidikan. Justru menimbulkan eksklusivisme di dalam dunia pendidikan kita.

Gejala eksklusivisme di dalam sistem pendidikan kita semakin tampak jelas dengan berkembangnya pendidikan saat ini yang sarat akan kriteria, penolakan, serta pengabaian terhadap karakteristik dan keunikan setiap siswa peserta didik. Sekolah pun cenderung mengelompokkan dan mengkotak-kotak para siswa sesuai dengan kriteria tertentu yang sarat adanya diskriminatif. Apalagi ditambah dengan makin menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional. Ini tentu bertentangan dengan konstitusi kita yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Namun dengan adanya gejala eksklusivisme yang terjadi di sekolah dan dalam sistem pendidikan kita sekarang ini, jika terus dibiarkan akan menghambat terwujudnya pemerataan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh warga negara Indonesia.

Pada akhirnya segala bentuk pengkomersialisasian pendidikan dan mewabahnya gejala eksklusivitas dalam sekolah merupakan sebuah masalah krusial pendidikan yang harus segera dituntaskan. Untuk itu pemerintah perlu membuat kebijakan yang mampu mengakhiri segala bentuk praktik komersialisasi pendidikan yang semakin menjamur itu. Terkait masalah seragam, sebaiknya pemerintah mengeluarkan regulasi yang secara tegas mengatur tentang pengadaan seragam serta hal-hal yang terkait di dalamnya. Dan untuk pihak sekolah, sebaiknya seragam dibuat seperlunya saja. Artinya seragam tidak perlu banyak-banyak dan kelihatan mewah, namun bisa dibuat lebih sederhana dan terjangkau oleh semua kalangan. Tentu pihak sekolah juga harus melalui musyawarah terlebih dahulu dengan para wali siswa.

Sabtu, 17 Juli 2010

Sekeping Hati Untuk Mu

Di bawah terang cahaya rembulan,
Terbentang jutaan gugus bintang di balik awan,
Dalam pekatnya rinai malam,
Tersimpan kisah antara engkau dan aku,

Tak pernah sebelumnya kurasakan,
Gelora cinta yang memuncak di ufuk jiwa,
Bening kilau embun dan segaris cahaya pagi menjadi saksi,
Rasa cinta yang terpendam diantara kau dan aku,

Oh Tuhan semua ini laksana sebuah mimpi yang sempurna,
Ia laksana bidadari yang Tuhan kirimkan ke bumi,
Bidadari terindah yang telah menggetarkan dawai hati ku,
Hingga tercipta melodi-melodi cinta yang begitu syahdu,

Oh Tuhan kini baru ku sadari,
Ada cinta diantara aku dan dia,
Walau berat untuk ungkapkannya,
Namun rasa itu sungguh ada,

Biarkan rasa cinta itu tumbuh bersemi diantara kau dan aku,
Bersabarlah hingga tiba saatnya nanti,
Kan ku simpan sekeping hati ini hanya untuk mu,
Hingga kau pun mengakui ada rasa diantara kita,
Sekarang, esok , atau entah kapan…


Kamis, 15 Juli 2010

Kualitas Pendidikan di Indonesia


Seiring perkembangan zaman yang sangat cepat dan modern membuat dunia pendidikan semakin penuh dengan dinamika, Di Indonesia sendiri dinamika itu tampak dari tidak henti-hentinya sejumlah masalah yang melingkupi dunia pendidikan. Permasalahan-permasalahn yang melingkupi dunia pendidikan kita saat ini menurut Suryati Sidharto (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995), problem yang dihadapi bangsa Indonesia mencakup lima pokok problem, yaitu: Pemerataan Pendidikan, Daya Tampung Pendidikan, Relevansi Pendidikan, Kualitas/Mutu Pendidikan, dan Efisiensi & Efektifitas Pendidikan (Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan, Arif Rohman, Hal: 245)

Dalam kesempatan ini Penulis hanya akan membahas tentang masalah mutu pendidikan di Indonesia. Masalah mutu pendidikan ini tampaknya dari sejak kita merdeka hingga kini memasuki era millennium belum juga dapat terselesaikan dengan baik. Masalah mutu pendidikan di Indonesia memang sangat komplek dan rumit, ini tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan kita. Menurut penulis sendiri mutu pendidikan merupakan cerminan dari mutu sebuah bangsa. Manakala mutu pendidikannya bagus, maka bagus pula kualitas peradaban bangsa tersebut. Untuk itu seyogyanya masalah mutu pendidikan harus menjadi perhatian serius Pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Tentu dalam pengimplementasian-nya upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi tanggungjawab kita bersama, dan bukan hanya Pemerintah.

Menurut Achmad (1993), mutu pendidikan di sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku. Engkoswara (1986) melihat mutu/keberhasilan pendidikan dari tiga sisi; yaitu: prestasi, suasana, dan ekonomi. Dalam hubungan dengan mutu sekolah, Selamet (1998) berpendapat bahwa banyak masyarakat yang mengatakan sekolah itu bermutu atau unggul dengan hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya
ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada juga yang melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha.
Di sisi lain Heyneman dan Loxley dalam Boediono & Abbas Ghozali (1999) menyimpulkan bahwa kualitas sekolah dan guru nampaknya sangat berpengaruh pada prestasi akademis di seluruh dunia; dan semakin miskin suatu negara, semakin kuat pengaruh tersebut. Menurut Penulis, mutu pendidikan merupakan tolok ukur keberhasilan sebuah proses pendidikan yang bisa dirasakan oleh masyarakat mulai dari input (masukan), proses pendidikan yang terjadi, hingga output (produk keluaran) dari sebuah proses pendidikan.

Lalu apa saja permasalahan mutu pendidikan di Indonesai?

Berbicara tentang permasalahan mutu pendidikan di Indonesia, penulis sebagai mahasiswa Filsafat dan Sosiologi Pendidikan melihatnya sebagai permasalahan yang sangat komplek, dan tidak bisa dilepaskan antara satu poin masalah dengan poin masalah lainnya. Misalnya saja penulis berikan sample mutu pendidikan yang berupa hasil belajar yang selama ini kita kenal dengan Hasil Ujian Nasional. Sekarang ini hasil ujian nasioanal dijadikan sebagai salah satu alat ukur dan pemetaan mutu pendidikan di Indonesia. Dari evaluasi hasil ujian nasional tersebut akhirnya Pemerintah mengambil suatu kebijakan untukl meningkatkan mutu hasil belajar peserta didik. Akhirnya diambil kesimpulan bahwa hasil belajar yang bermutu hanya bisa dicapai melalui proses belajar yang bermutu pula. Dan proses belajar yang bermutu membutuhkan SDM serta biaya yang relative besar.

Pemerintah pun akhirnya mengambil langkah awal mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru,dengan dalih peningkatan kesejahteraan guru/pendidik. Setelah para guru/pendidik sejahtera diharapkan mampu memacu semangat keprofesionalan mereka dalam mengajar dan mendidik para peserta didik. Benarkah demikian? Yang terjadi selama ini justru menyimpang dari haapan kita semua, banyak permasalahan yang muncul dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru. Yang ingin penulis soroti di sini yaitu terkait kemerosotan hasil ujian nasioanal pada tahun 2010 seiring makin banyak guru yang telah tersertifikasi. Di sini ternyata kita temukan fakta baru, bahwa kebijakan/program sertifikasi guru tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam hal ini mutu hasil belajar peserta didik.

Dalam hal ini bukan berarti sertifikasi guru itu tidak penting atau bahkan tidak perlu. Kita tetap harus memberikan apresiasi positif atas upaya Pemerintah tersebut. Hanya saja menurut Penulis kebijakan sertifikasi pendidikan yang ada saat ini baru berdampak pada peningkatan kesejahteraan guru, walau banyak menimbulkan kecemburuan sosial dari golongan PNS lainnya. Program sertifikasi guru yang ada saat ini belum menampakkan dampak pada peningkatan mutu pendidikan secara umum. Ini tentu perlu menjadi perhatian dan sebagai bahan evalusi oleh Pemerintah khususnya dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.





Sabtu, 10 Juli 2010

URGENSI PENDIDIKAN MORAL

Menghadapi krisis moral yang sedang menghantam bangsa ini, maka sudah seharusnya Pendidikan mengambil peranan utama yang berdiri di garda terdepan sebagai benteng moral bangsa. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Di dalam Bab II Pasal 3 UU Sisdiknas juga dituliskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pendidikan moral dan pembangunan karakter bangsa. Pendidikan moral merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita. Untuk itu dunia pendidikan harus mampu menjadi motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan moral bangsa, sehingga setiap peserta didik mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi NKRI dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adapt kebiasaan. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai (1) prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. (2) kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah. (3) ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik. (http://www.nu.or.id)

Pendidikan moral sebagai bagian dari pendidikan nilai di sekolah, adalah upaya untuk membantu subyek didik mengenal , menyadai pentingnya, dan menghayati nilai-nilai moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan perilakunya sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat. Nilai moral mendasari prinsip dan norma hidup baik yang memandu sikap dan perilaku manusia sebagai pedoman dalam hidupnya. Kita semua tentu mengetahui, kualitas hidup seseorang ditentukan oleh nilai-nilai, dan termasuk di dalamnya yaitu nilai moral. Nilai moral senyatanya dihayati sebagai pemandu serta penentu sikap dan perilaku seseorang dalam hidupnya; baik terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, alam sekitar, maupun dalam hubungannya dengan Tuhan .

Pada faktanya watak dan kepribadian seseorang dibentuk oleh nilai-nilai yang dipilih, diusahakan, dan secara konsisten dihayati dalam setiap tindakan-tindakannya. Dalam upaya pengenalan dan penyadaran pentingnya serta upaya menunjang penghayatan nilai-nilai moral, pendidikan moral memuat unsur penyampaian pengetahuan moral kepada subyek didik/peserta didik, serta pengembangan pengetahuan moral yang sudah ada padanya (Pendidikan Manusia Indonesia, hal 108-109)


Rabu, 07 Juli 2010

AWAS, BAHAYA "LATEN" KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini telah menjadi sebuah rahasia umum yang amat memprihatinkan. Komodifikasi pendidikan nampaknya kini semakin sulit dibendung, nyaris terjadi di berbagai sector dan jenjang pendidikan. Gejala komodifikasi pendidikan itu telah menjangkit mulai dari jenjang playgroup hingga perguruan tinggi yang semakin kasatmata. 

Contoh praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi pada akhir-akhir ini yaitu mahalnya biaya untuk masuk sebuah perguruan tinggi (PT) favorit. Kita ketahui bersama kini untuk sekedar bisa mendapatkan formulir pendaftaran saja para calon mahasiswa harus rela mengeluarkan uang yang cukup besar dan tidak terjangkau oleh kaum miskin. Belum lagi besarnya biaya sumbangan pengembangan institusi yang harus dibayarkan. Bahkan di kota-kota besar untuk sekedar masuk playgroup saja para orang tua harus rela mengeluarkan uang jutaan rupiah.

Adanya praktik komodifikasi atau komersialisasi pendidikan ini perlu menjadi perhatian dan kewaspadaan kita bersama. Karena bagaimanapun wujud dan modelnya, jika terus dibiarkan akan semakin mempertajam kesenjangan social yang terjadi dalam masyarakat. Akses masyarakat terutama golongan menengah ke bawah untuk mendapatkan layanan pendidikan yang adil (baca: bermutu dan merata) menjadi semakin sulit dan jauh dari kenyataan. Kini layanan dan kualitas pendidikan yang bermutu tinggi hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya kantong tebal. Sementara bagi para golongan menengah ke bawah harus cukup puas dengan layanan dan kualitas pendidikan yang juga masih jauh dari standar.

Hal yang menjadi salah satu pemicu adanya komersialisasi pendidikan adalah kultur akademik di negeri ini yang masih belum dewasa. Perguruan Tinggi misalnya, kini banyak yang masih “manja” dan bergantung kepada pemerintah dalam hal pembiayaan dan pendanaan pendidikan. Sehingga manakala anggaran yang dikucurkan pemerintah dirasa masih kurang, mereka gunakan segala cara untuk mengeruk dana dari para orang tua atau masyarakat.

Solusi untuk keluar dari permasalahan ini yaitu perlu dibangun kultur akademik yang lebih dewasa. Perguruan Tinggi jangan lagi bermanja-manja menggantungkan anggaran yang dikucurkan oleh Pemerintah. Dan jangan pula membebankannya kepada masyarakat atau orang tua para peserta didik. Ada cara yang lebih bijaksana dan merakyat. Yakni pengembangan berbagai potensi yang ada di Perguruan Tinggi. Misal melalui kerjasama dalam berbagai riset, pelatihan-pelatihan, diklat dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih produktif. Dari pada melalui cara-cara penarikan dana terhadap masyarakat yang sesungguhnya tidaklah etis.

MAHASISWA INDONESIA JANGAN LATAH

Nampaknya kini tanpa disadari aksi gerakan mahasiswa sering kali terkesan latah. Latah disini dapat diartikan bahwa mahasiswa melakukan aksi gerakan turun ke jalan manakala hal itu sedang nge-tren atau booming di masyarakat. Contohnya saja ketika sedang nge-tren kasus Bank Century mahasiswa serta merta beramai-ramai turun ke jalan mengecam kebijakan tersebut. Ketika sedang nge-tren kasus penyerangan Israel terhadap para relawan kemanusiaan di kapal Mavi Marmara, para mahasiswa pun kembali turun ke jalan mengecam kebiadaban zionis Israel itu. Sejatinya aksi mahasiswa itu memang mulia dan pantas kita berikan acungan jempol, namun jangan sampai setiap aksi gerakan tersebut sebagai wujud “kelatahan” mahasiswa seiring degradasi moral yang terjadi pada diri mereka. 

Sungguh memprihatinkan, manakala aksi gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan rakyat Indonesia justru terkadang terjebak pada aksi-aksi atau gerakan yang hanya sekedar mengukuhkan “eksistensi” diri ataupun kelompok mahasiswa semata. Narsisme tampaknya masih sering kali merasuk dalam jiwa mahasiswa. Narsisme itulah yang turut menyulut “kelatahan” pada mahasiswa saat ini. Dilihat secara psikologis “latah” yang terjadi pada diri mahasiswa didorong oleh keinginan jiwa untuk tetap eksis dan diakui keberadaannya oleh orang lain. Ini tentu justru bisa membiaskan idealisme yang sering diteriakan para mahasiswa itu sendiri. Apa solusinya?

Kembalikan Citra Mahasiswa

Yang telah lalu biarlah berlalu menjadi kenangan manis bersama. Kini para mahasiswa harus berhenti menikmati romantisme sejarah kejayaan masa itu. Zaman telah berubah dan bukan waktunya lagi tampil bak pahlawan yang kesiangan. Mahasiswa harus terus bergerak untuk perubahan yang lebih baik. Mahasiswa harus membuktikan bahwa mereka memang pantas menyandang gelar “agent of change”. Karena itu citra positif mahasiswa di mata masyarakat harus dipulihkan kembali. Jika memang mahasiswa tetap konsisten dengan semangat membela kepentingan rakyat, maka merebut kembali hati dan kepercayaan rakyat adalah syarat wajib.

Setiap aksi gerakan mahasiswa yang akhir-akhir ini sering keluar jalur koridor, perlu dikembalikan lagi pada rel idealisme dan demokrasi. Mahasiswa harus lebih memiliki “sense of crisis”, sehingga tidak lagi “latah” dalam setiap aksi atau gerakan. Mahasiswa pun perlu belajar lebih banyak mengenai etika berdemokrasi. Karena itu dalam setiap aksi gerakan mahasiswa, etika menjadi nilai yang wajib dikedepankan. Dengan begitu akan terpancar kembali pesona dan kharisma para mahasiswa Indonesia sejati. Semoga!

IDEALISME ALA MAHASISWA TERKINI

Aksi atau gerakan mahasiswa selama ini tidak bisa dipungkiri memang telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi tegaknya demokrasi di bumi pertiwi Indonesia. Ini terbukti dari catatan sejarah yang mengabadikan betapa dahsyatnya kekuatan mahasiswa kala itu hingga berhasil menumbangkan rezim otoriter masa pemerintahan Suharto. Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) juga menjadi saksi sejarah perjuangan mahasiswa dalam melawan dominasi Jepang atas pasar dalam negeri pada tahun 1974. Dan hati kita pun akan menangis manakala diingatkan akan peristiwa berdarah di kampus Trisakti. Mahasiswa kala itu selalu menjadi garda terdepan sebagai simbol perlawanan hati nurani rakyat terhadap kesewenang-wenangan penguasa masa itu. Lalu bagaimana dengan sekarang?

Sangat disayangkan nampaknya kini citra mahasiswa sebagai simbol perlawanan rakyat itu mulai memudar seiring berjalannya waktu. Pesona mahasiswa tidak lagi seterang dan sekuat dulu. Kharisma dan wibawa yang dimiliki mahasiswa saat ini semakin merosot di mata masyarakat. Bahkan sering kali mahasiswa yang berniat membela rakyat justru berbalik arah menjadi musuh dari rakyat itu sendiri. Kepercayaan rakyat terhadap mahasiswa pun semakin menghilang. Yang menjadi pertanyaan sekarang mengapa pesona atau citra mahasiswa di mata masyarakat semakin memudar?

Sepertinya saat ini masyarakat sudah mulai muak dan bosan mendengar teriakan-teriakan idealis mahasiswa di jalanan. Pudarnya citra mahasiswa di mata masyarakat juga sebagai dampak dari aksi gerakan mahasiswa itu sendiri. Akhr-akhir ini mahasiswa justru sering kali mempertontonkan aksi anarkisme di mata masyarakat. Bahkan sering kali terjadi aksi tawuran antar mahasiswa yang notabene masih satu almamater. Mahasiswa yang menyandang gelar sebagai “agent of change” akhir-akhir ini juga memperlihatkan aksi-aksi yang cenderung vandalisme ketika melakukan perusakan fasilitas umum maupun fasilitas negara yang dibiayai dari uang rakyat. 

Terjebak Idealisme

Mahasiswa sebagai insan akademik yang selalu berpegang teguh pada idealisme nampaknya kini justru terjebak pada keidealisanya itu sendiri. Tidak jarang kita dengar mahasiswa meneriakan Nasionalisme, walaupun fakta di lapangan menujukkan betapa banyak mahasiswa yang lupa akan budaya bangsanya sendiri. Mahasiswa sering meneriakan berantas kebodohan, namun kenyataanya sekedar membaca materi kuliah saja terkadang masih banyak mahasiswa yang malas dengan berbagai alasan kesibukan sebagai seorang aktivis. Mahasiswa sering meneriakan berantas para koruptor, padahal disadari atau tidak mahasiswa sendiri suka mengkorupsi jam kuliah. Mahasiswa sering berteriak bebaskan rakyat dari kemiskinan, juga akan terasa lucu ketika keluar dari mulut mahasiswa yang pemalas dan masih menggantungkan financial kepada orang lain.

Kini aksi gerakan mahasiswa pun seolah telah kehilangan arah dan tujuan. Pasca reformasi 1998 gerakan mahasiswa tampak mengalami disorientasi. Aksi gerakan mahasiswa jarang sekali mampu mengangkat isu-isu yang bersifat kerakyatan. Mahasiswa justru banyak yang terjebak dalam euphoria politik praktis hingga sering melupakan perannya sebagai gerakan moral untuk membangun bangsa. Aksi gerakan mahasiswa yang belakangan seringkali diwarnai anarkisme dan berujung bentrok, jika dibiarkan akan menjadi boomerang bagi para mahasiswa itu sendiri. Ini tentu perlu menjadi perhatian dan renungan para mahasiswa sekalian.

Semakin pudarnya citra mahasiswa di mata masyarakat juga tidak lepas dari munculya pertanyakan-perrtanyaan yang kian menyudutkan mahasiswa. Kedewasaan dan kelogisan berfikir para mahasiswa pun kembali dipertanyakan. “Gerakan Mahasiswa, sebenarnya Mau Kemana?”. Dalam artian, apa sebenarnya yang diinginkan para mahasiswa saat ini? Kenapa kini gerakan mahasiswa justru sering bentrok dan berbalik menjadi lawan masyarakat? Sungguh ironis, namun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua mahasiswa memperlihatkan sisi yang negative. Di sisi lain tentu masih banyak mahasiswa-mahasiswa yang memperlihatkan kegemilangan prestasinya, bahkan hingga mampu mengharumkan nama bangsa. Mengapa bisa demikian?

AWAS, BAHAYA "LATEN" SEKS BEBAS

Dari data survey Kesehatan Reproduksi Remaja (15-19 tahun) oleh Badan Pusat Statistik (2009) tentang perilaku remaja terhadap kesehatan reproduksi menunjukkan fakta yang mencengangkan. Data tersebut menyebutkan bahwa dari 10.833 remaja laki-laki yang disurvei, 72 persen diantaranya mengaku sudah berpacaran. Dan dari 72 persen itu diperoleh data sbb:
• 92 persen saat berpacaran lebih sering melakukan pegang-pegang tangan
• 82 persen mengaku telah berciuman
• 10,2 persen mengaku telah melakukan hubungan seks (seks di luar nikah)
• 62 persen mengaku telah melakukan petting

Sedang dari hasil survei terhadap 8.340 remaja putri diperoleh data sbb:
• 77 persen mengaku sudah berpacaran
• 92 persen mengaku lebih sering melakukan pegang-pegang tangan
• 86 persen mengaku telah berciuman
• 6,3 persen mengaku telah melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya
• 63 persen mengaku telah melakukan petting

Akibat-akibat lain dari seks bebas di kalangan remaja ini pun perlu disosialisasikan kepada para remaja, antara lain; resiko terkena HIV/AIDS, PMS (Penyakit Menular Seksual), KTD (Kehamilan yang Tidak Diinginkan) hingga aborsi yang dapat menyebabkan cacat permanen atau berujung pada kematian. Belum lagi dampak psikologis yang seringkali lebih mengarah pada wanita korban pelecehan tersebut, seperti rasa malu, depresi berat, rasa tidak berharga, putus asa, dsb.

Lalu berikut beberapa alasan kenapa hal ini bisa terjadi :

  • Tidak Kuasa untuk Menolak
Biasanya karena merasa takut diputus dan kehilangan pacarnya. Pacar sudah membujuk rayu sedemikian rupa, sampai akhirnya tidak bisa menolak. Habis itu, siapa yang akan bertanggung jawab? Biasanya dijadikan alasan sebagai pembuktian cinta. Sebenarnya jika dilogika kalau benar-benar cinta, pasti akan saling menjaga

  • Konsep “GAUL” yang Sesat
Saat ini para remaja banyak yang berasumsi bahwa dengan pernah melakukan hubungan seks, dianggap ‘Gaul’, berani, hebat, dsb. Ini tentu sebuah konsep menyesatkan yang perlu diluruskan kembali pada jalur koridor yang benar.

  • Prostitusi sebagai Lahan Bisnis
Tidak bisa dipungkiri kini prostitusi semakin merebak dan berkembang menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan. Akhirnya para remaja pun banyak yang terjerumus ataupun menjadi korban perdagangan manusia atas bisnis maksiat tersebut. Di beberapa daerah, ternyata ada juga remaja yang kebanyakan perempuan, dimana mereka dijual oleh orangtua atau keluarganya sendiri kepada “Germo” dengan alasan ekonomi. Sungguh ironis memang!

  • Korban Tayangan TV
Merebaknya seks bebas di kalangan remaja saat ini juga tidak lepas dari pengaruh kotak “setan” yang bernama Televisi. Akhir-akhir ini tayangan di televisi tanpa disadari seringkali mengumbar tontonan yang sensual. Ini tentu mendorong perilaku seks yang agresif pada para remaja. Contohnya saja kini sinetron-sinetron yang terkadang menampilkan adegan-adegan sensual dan gaya berpacaran yang kebablasan.

  • Masuknya Budaya “POP”
Masuknya budaya pop Barat ke dalam budaya kita nampaknya kini justru semakin menggeser budaya kita sendiri. Kini para remaja dan generasi muda justru lebih bangga dengan segala embel-embel yang kebara-baratan. Gaya hidup remaja pun lebih sering berkiblat pada bangsa lain.




Selasa, 06 Juli 2010

MENIMBANG EFEKTIFITAS PENDIDIKAN MORAL

Selama ini pendidikan moral memang telah dilakukan di sekolah sejak pendidikan tingkat dasar hingga pendidikan tinggi di kampus Pendidikan moral tersebut diajarkan kepada peserta didik melalui mata pelajaran PKn dan Pendidikan Agama (di sekolah) dan melalui mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Moral, dsb (di kampus). Namun saat ini kita semua bisa melihat betapa korupsi masih menjamur di berbagai lembaga dan bahkan institusi Negara, virus pornografi terus menjangkit generasi bangsa, kasus kriminalitas terjadi di mana-mana, kekerasan dan anarkisme-pun semakin mengakar di dalam kehidupan masyarakat. Ini jelas-jelas sebuah “pertanda” bahwa pendidikan moral yang ada di sekolah maupun kampus selama ini masih “gagal” menjadikan peserta didik sebagai “manusia yang bermoral”. Pada akhirnya kita pun patut mempertanyakan “Seberapa efektifkah pendidikan moral di sekolah dan kampus?”

Penulis mengutip pendapat Marvin Berkowitz (1998) yang mengatakan bahwa kebanyakan pendidikan moral yang dilakukan di sekolah-sekolah tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perubahan perilaku. Contoh konkritnya yang paling relevan terhadap hal ini adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang kini menjadi PKn yang sudah puluhan tahun diajarkan di Sekolah maupun Kampus. Namun kenyataannya sampai saat ini adakah bukti nyata atau korelasi yang signifikan antara Pendidikan//Pembelajaran Moral terhadap terwujudnya bangsa Indonesia sebagai insane yang bermoral? Ironis sekali, fakta di lapangan selama ini justu menunjukkan hal yang sebaliknya.

Jika kita amati dan analisa, sepertinya masih ada semacam kesenjangan dalam pelaksanaan pendidikan moral selama ini. Kesenjangan itu terjadi antara pengetahuan moral ( cognition) dan perilaku (action). Salah satu solusi untuk mengefektifkan pendidikan moral yang memang sudah ada selama ini yaitu melalui pendidikan karakter. Karena pendidikan moral selama ini hanya menyentuh aspek “pengetahuan”, belum sampai pada aspek pengamalan atau “perilaku”.

Menurut penulis jika negara ini benar-benar menghendaki generasi dan bangsa yang bermoral, maka pendidikan karakter merupakan sebuah keharusan. Jika Pemerintah tetap mengandalkan Pendidikan Moral untuk membangun akhlak bangsa terutama generasi muda, maka upaya tersebut tidak akan efektif. Seperti yang terjadi selama ini, penulis belum melihat dampak nyata yang empirik dari Pendidikan Moral baik itu di sekolah maupun kampus. Untuk itu penulis menghimbau kepada Pemerintah agar Pendidikan Karakter menjadi perhatian serius Pemerintah. Jangan sampai Pendidikan Karakter berakhir sekedar "wacana" yang terus menjadi perdebatan dari masa ke masa.

Pendidikan Moral yang ada selama ini dan Pendidikan Karakter memang tidak jauh berbeda. Hanya saja Pendidikan Karakter yang menjadi topik bahasan akhir-akhir ini lebih luas cakupannya. Karena tidak hanya menekankan pada pemahaman konsep semata, akan tetapi juga pada penghayatan dan pengamalan dalam tingkah-laku sehari-hari. Pendidikan Moral saat ini memang masih sangat dibutuhkan di sekolah maupun kampus. Akan tetapi upaya tersebut tidak akan efektif tanpa didukung dengan Pendidikan Karakter.

MENYUSURI JEJAK SEJARAH "KAWASAN KOTA TUA"



Jakarta sebagai kota metropolitan yang sarat akan modernitas dan kemacetan-nya itu ternyata masih memiliki kawasan unik yang menyimpan nilai sejarah tinggi bagi bangsa Indonesia. Kawasan unik nan bersejarah itu bernama kawasan Kota Tua. Letaknya di jalan Fatahillah, Jakarta Utara. Sekitar 4 hingga 5 kilometer dari Tugu Monumen Nasional.

Menurut data sejarah, kawasan kota tua ini merupakan hasil rancangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Peiterzoon Coen tahun 1628 yang ingin membangun Amsterdam di Batavia. Batavia adalah sebutan awal bagi Jakarta waktu itu. Ketika berada di kawasan Kota Tua ini, seakan kita diajak melihat kembali perjalanan sejarah kota Jakarta. Di kawasan Kota Tua terdapat beberapa bangunan kuno yang unik dengan rancangan arsitektur bergaya Eropa.

Keindahan Kota Tua tidak hanya terasa dari sisi luarnya saja. Tetapi juga dari beberapa bangunannya yang hingga saat ini masih berdiri tegak dan masih layak untuk digunakan. Salah satunya, Museum Sejarah Jakarta atau yang seringkali disebut Museum Fatahillah. Luasnya sekitar 13 ribu meter persegi. Bangunan ini didirikan atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Van Hoorn sekitar tahun 1707 hingga 1710. Konon, peletakan batu pertama pembangunan gedung ini dilakukan tanggal 25 Januari 1707 semasa pemerintahan Van Hoorn. Kemudian, pelaksanaan pembangunan diteruskan di bawah pemerintahan Gubernur Jendral Abraham van Riebeeck hingga diresmikan tahun 1710. Awalnya, konon bangunan ini digunakan sebagai balai kota, kantor Penasehat Gubernur Jendral, dan Ruang Pengadilan.

Namun sejak, 30 Maret 1974 gedung ini berubah fungsi dan dipugar. Kemudian, diresmikan sebagai museum Fatahillah oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta waktu itu, Bapak Ali Sadikin. Sebagai saksi bisu perjalanan sejarah bangsa Indonesia, di museum ini terdapat bekas penjara bawah tanah yang pernah digunakan ketika Indonesia di bawah pemerintahan Hindia Belanda.

Tidak hanya itu, museum ini juga menyimpan beberapa koleksi yang tentunya menjadi barang berharga bagi Indonesia. Seperti keramik, gerabah, batu prasasti serta mebel antik yang dibuat sekitar abad ke-17 Masehi. Bukan hal yang aneh jika museum ini seringkali dikunjungi oleh beberapa wisatawan baik domestik maupun mancanegara.


Menyusuri kawasan Kota Tua Jakarta, akan membuat kita merasakan pesona Jakarta di masa lampau. Itulah sebabnya, mengapa kawasan ini seringkali disebut dengan Jakarta Tempo Dulu. Dari pengamatan penulis saat bermain ke Kawasan Kota Tua, nampak banyak sekali para pengunjung baik dari dalam maupun luar negeri. Apalagi pada malam minggu, di sekitar kawasan Kota Tua selalu dipadati pengunjung baik para kawula muda maupun orang tua. Penulis juga melihat banyak sekali para pecinta sepeda yang sering berkumpul di sana. Di kawasan bersejarah tersebut juga terdapat ojek "sepeda onthel" yang bisa kita sewa sembari menikmati museum-museum di kawasan Kota Tua. Jika perut mulai terasa lapar, kita pun disuguhi berbagai jajanan yang ada di sana. So, jika Anda tertarik mencobanya, silahkan kunjungi  Kawasan Kota Tua di Jakarta.

Rabu, 30 Juni 2010

Isu Terkini Pendidikan Karakter di Indonesia


Banyak sekali isu-isu kontemporer pendidikan yang berkembang di Indonesia saat ini. Isu-isu tersebut menarik perhatian berbagai pihak, mulai dari para pendidik, pengamat, analis, praktisi pendidikan, hingga masyarakat luas. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini . Isu kontemporer pendidikan yang paling hangat saat ini adalah terkait "Pendidikan Karakter".

REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER

Munculnya gagasan tentang pendidikan karakter pada akhir-akhir ini cukup menarik perhatian berbagai kalangan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri pendidikan karakter memang sangat urgen bagi bangsa Indonesia, terutama untuk mempersiapkan generasi muda sebagai para calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Melalui pendidikan karakter diharapkan mampu mencetak para generasi abad 21 yang tidak hanya “pintar” logikanya, akan tetapi juga mewarisi karakter bangsa yang luhur. Untuk itulah revitalisasi pendidikan karakter menjadi sebuah program yang sangat penting.

Seperti kita ketahui bersama saat ini tampak begitu jelas dekadensi moral yang sedang menjangkit bangsa ini. Hasil survey terakhir terhadap pergaulan bebas pada remaja kita amat mengkhawatirkan. Kesadaran masyarakat akan budaya kebersihan semakin menurun. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan semakin memprihatinkan. Masih banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai sebagai layaknya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah hingga mengakibatkan bencana banjir. Budaya antre dan sopan-santun semakin pudar ditelan oleh arus zaman globalisasi. Materialistik, konsumerisme, hedonisme, sekulerisme dan individualistic kini secara perlahan tapi pasti telah menginternalized dalam masyarakat. Pelanggaran lalu lintas dan tata tertib menjadi budaya baru yang seolah mengokohkan sebuah anekdot bahwa “hukum dan tata tertib memang dibuat untuk dilanggar”. Di sisi lain kasus-kasus kekerasan, plagiarisme, illegal logging dan korupsi pun kian menjamur. Inilah beberapa fakta yang dapat menjadi pertimbangan dan renungan bangsa ini betapa urgen-nya moral and character building bagi terwujudnya bangsa Indonesia yang unggul dan beradab.

Dalam pelaksanaan pendidikan karakter memang tidak semudah yang kita bayangkan.  Butuh proses yang cukup lama dan SDM yang unggul dalam pengimplementasian-nya. Pendidikan karakter juga harus dilakukan secara holistic dan terintegrasi. Untuk itu pendidikan karakter tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada sekolah. Masyarakat perlu diberikan penyadaran bahwa pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama. Menurut hemat penulis, untuk memaksimalkan tercapainya program pendidikan karakter sangat dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat secara terpadu. Mulai dari pihak keluarga,
sekolah, lingkungan sosial masyarakat, institusi kepolisian hingga media cetak maupun elektronik yang turut berpengaruh dalam pembentukan karakter seorang anak.

Yang pertama pihak keluarga. Keluarga merupakan wahana pendidikan karakter yang paling utama bagi seorang anak. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini di dalam lingkungan keluarga. Usia dini merupakan masa emas yang sangat efektif bagi pembentukan karakter seseorang. Dalam hal inilah dituntut adanya kesadaran orang tua untuk menanamkan nilai-nilai karakter positif ke dalam jiwa anak mereka. Keluarga atau orang tua harus selalu memberikan nasihat-nasihat positif serta menunjukkan kesuritauladanan yang baik dihadapan anak mereka. Orang tua sebisa mungkin harus berusaha menciptakan kondisi rumah yang nyaman bagi anak mereka. Tentunya sebuah rumah yang dibalut dengan cinta, kasih sayang serta kultur demokratis di dalamnya.

Yang kedua pihak sekolah. Sekolah merupakan wahana yang sangat efektif sebagai tempat pembinaan dan pengembangan karakter secara terintegrasi melalui para pendidik di luar lingkup keluarga. Untuk itu diharapkan sekolah mampu menjadi motor penggerak dalam pembangunan karakter bangsa (moral and chaakter building). Untuk itu suasana dan kultur sekolah harus dikondisikan dimana nilai-nilai luhur amat sangat dijunjung tinggi oleh seluruh warga sekolah. Para pendidik harus selalu berusaha menunjukkan sikap kesuritauladanan yang positif dalam menghayati nilai-nilai luhur yang mereka ajarkan. Pendidik (guru) harus berusaha mengintegrasikan setiap matapelajaran yang diajarkan dengan nilai-nilai penghayatan yang perlu ditekankan kepada para siswa, ini sering dikenal dengan istilah hidden curriculum. Di samping itu menurut hemat penulis pendidikan karakter di sekolah juga perlu diintegrasikan dalam kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler, semisal PMR, OSIS, Kepramukaan, pembinaan kerohanian, olahraga, bakti sosial, dll.

Yang ketiga lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial masyarakat sangat berpengaruh terhadap berhasil-tidaknya proses character building pada seorang anak. Untuk itu sekali lagi penulis tekankan perlu adanya penyadaran kepada masyarakat melalui berbagai media dan cara bahwa pendidikan karakter merupakan tanggungjawab kita bersama. Maka diharapkan masyarakat turut berperan aktif dalam menciptakan lingkungan sosial masyarakat yang kondusif serta kultur masyarakat yang mendukung bagi tumbuhkembang seorang anak.   

Yang keempat pihak institusi Kepolisian. Dalam implementasi pendidikan karakter tentu perlu adanya dukungan dan kerjasama dari institusi Kepolisian. Untuk itu harus dijalin kerjasama yang kuat antara pihak sekolah dan institusi Kepolisian. Kerjasama tersebut dapat meliputi berbagai hal, antaralain yaitu; penyuluhan tertib berlalu-lintas, gerakan sekolah bebas miras dan narkoba, swipping terhadap benda-benda terlarang (cd/gambar porno, HP ber-film porno, senjata tajam,dll), pelatihan kepemimpinan, penertiban terhadap siswa yang bolos pada jam-jam sekolah, pencegahan tawuran antar pelajar, dsb.

Yang kelima pihak Media (cetak maupun elektronik). Pengaruh media baik cetak maupun elektronik terhadap perkembangan mental dan moral (karakter) pada seorang anak sangat besar. Penulis pun sering mengamati adanya agresivitas yang berlebihan pada seorang anak setelah ia menonton sebuah film perang di TV. Bahkan dari data survey yang dilakukan oleh BKKBN terakhir menyebutkan bahwa cukup banyak remaja kita saat ini yang telah mempraktikan kissing, netting, petting hingga intercourse (knpi) yang pada umumnya terinspirasi dari tayangan yang diekspose melalui media contohnya TV, internet, majalah porno, video porno, dsb. Kebebasan pun sering kali disalahgunakan oleh media-media yang tidak bertanggungjawab demi mengejar keuntungan semata, tanpa mempedulikan dampak dari tayangan tersebut. Contohnya saja kini makin menjamur film-film bioskop horor yang dibumbui oleh pornografi dan pornoaksi. Di luar semua ini masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang perlu adanya kesadaran dan kepedulian kita bersama.

Itulah beberapa solusi yang dapat penulis rekomendasikan dalam rangka upaya revitalisasi pendidikan karakter bangsa Indonesia. Pada akhirnya Pendidikan Karakter (character building) sebagai upaya membangun keberadaban bangsa menjadi sebuah keharusan dan mendesak segera dilaksanakan. Jangan sampai ini semua berakhir sekedar wacana. Semoga...!

Isu Kontemporer Pendidikan di Indonesia

Isu-isu kontemporer pendidikan di Indonesia saat ini banyak sekali. Isu-isu tersebut berkembang begitu cepat dan pesat dengan adanya perkembangan ICT sekarang ini. Kontemporer artinya kekinian, modern atau sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama saat ini. Jadi isu kontemporer pendidikan  menurut penulis adalah isu-isu terkait dunia pendidikan yang tidak terikat lagi oleh aturan-aturan zaman dulu, dan berkembang sesuai zaman sekarang. Salah satu isu kontemporer pendidikan di Indonesia yaitu "Komersialisasi Pendidikan" .

Harus jujur diakui praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini telah menjadi sebuah rahasia umum. Nampaknya gejala komodifikasi pendidikan itu telah menjangkit mulai dari jenjang playgroup hingga perguruan tinggi, baik itu swasta maupun negeri. Contohnya yang paling sederhana yaitu semakin mahalnya biaya untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi sekarang ini. Belum lagi besarnya biaya sumbangan pengembangan institusi yang harus dibayarkan. Bahkan di kota-kota besar untuk sekedar masuk jenjang playgroup saja para orang tua harus rela mengeluarkan uang jutaan rupiah.

Adanya praktik komodifikasi atau komersialisasi pendidikan saat ini harus menjadi perhatian serius Pemerintah. Hal ini menunjukkan pengelolaan pembiayaan pendidikan yang ada saat ini masih jauh dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan di dalam UU Sisdiknas Tahun 2003. Dalam pasal 48 UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pengelolaan pembiayaan pendidikan harus menegakkan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. 

Prinsip keadilan, artinya setiap warga negara berhak mendapatkan mutu dan pelayanan pendidikan yang layak tanpa adanya diskriminasi. Prinsip efisiensi, artinya adanya keselarasan antara biaya pendidikan yang dikeluarkan dengan pencapaian prestasi/tujuan yang dihasilkan. Prinsip transparansi, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan harus terbuka kepada masyarakat tentang sumber-sumber dana dan penggunaanya. Prinsip akuntabilitas publik, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan sejak perencanaan hingga dampak/produk yang dihasilkan dari pembiayaan pendidikan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan pada publik.

Pada akhirnya pengelolaan pembiayaan/pendanaan pendidikan yang berpijak pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik merupakan amanah konstitusi yang wajib kita laksanakan. Tentu untuk mewujudkan ini semua perlu adanya dukungan dan pengawasan (controlling) dari berbagai pihak, baik Pemerintah, stakeholder pendidikan dan seluruh komponen bangsa.

SUPERIORITAS MORAL

Menurut Carl G. Jung, sikap superioritas moral merupakan akar dari kebrutalan manusia yang akan membawa kerusakan di dunia. Masih menurut Jung, siapa saja yang merasa diri-nya paling bermoral, baik itu sebagai individu atau sebagai bangsa, biasanya akan sangat membenci keburukan yang ia lihat pada orang lain. Sehingga mereka yang memiliki “superioritas moral” biasanya meyakini bahwa membasmi keburukan yang ada di hadapan-nya adalah hal yang mulia.

Carl G. Jung memberikan contoh kekejaman Nazi dalam analisis-nya. Dalam kekejaman Nazi kala itu, banyak bangsa Jerman yang mengidentifikasikan diri-nya dengan kebesaran bangsa Aria. Waktu itu mereka konon meyakini bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang terbaik. Hal itu-lah yang selalu dipropagandakan oleh Hitler, sehingga banyak yang mendukung kebijakan-nya saat itu. Walau tindakan Hitler sangat kejam, namun tetap dibenarkan oleh para pendukungnya yang meyakini bahwa tindakan Hitler didasari atas tujuan “mulia”. Superioritas moral sebuah bangsa memang sebuah ancaman bagi dunia ini, terutama jika superioritas moral itu ada pada bangsa-bangsa yang merasa di atas angin.

Salah satu contoh “superioritas moral” yang ada saat ini adalah (maaf) Amerika Serikat. Sudah lebih dari 100 tahun bangsa Amerika percaya pada superioritas moral-nya. Konon ini berlangsung sejak Menteri Luar Negeri Elihu Root, berkata pada tahun 1899 ketika perang Amerika-Spanyol berlangsung. Menurutnya kala itu tentara Amerika adalah “different from all other soldiers of all other countries since the world began. He is the advance guard of liberty and justice, of law and order and of peace and happiness”. Hal ini membuat bangsa Amerika semakin yakin bahwa Amerika adalah Negara yang paling bermoral diantara Negara-negara di dunia. 

Superioritas moral itu-lah yang membuat mereka kini menjadi bangsa yang paling disegani di dunia. Bahkan PBB pun seolah tunduk pada Amerika, terbukti banyak resolusi yang menyangkut kemerdekaan Palestina yang ditolak melalui veto Amerika. Merasa paling bermoral membuat Amerika seringkali tidak mau tunduk pada keputusan multilateral PBB. Mungkin mereka meyakini bahwa tunduk kepada Negara-negara lain yang tergabung di PBB (yang menurut Amerika moralitasnya lebih rendah), merupakan tindakan yang tidak bermoral. Ironis sekali…!

Pemerintah Amerika selama ini selalu mengaku bahwa AS merupakan Negara yang paling menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, kebebasan, dan demokrasi. Sehingga Amerika mendeklarasikan Negara-nya sebagai “Polisi Dunia”. Sebagai “Polisi Dunia” seharusnya sudah menjadi kewajibannya menjaga keamanan dan ketertiban Dunia. Namun pada kenyataan-nya lagi-lagi Amerika sering kali merasa “paling suci”, hingga menyalahgunakan “kedigdayaan-nya” itu. Invasi ke negara Irak adalah salah satunya contonya.

Penulis melihat sepertinya bangsa Israel yang merupakan anak kesayangan dari negara Amerika pun tidak jauh dari sang induknya. Bangsa Israel merasa sebagai bangsa yang terbaik di dunia, hingga mereka mendapat dukungan penuh dari Amerika. Warga Gaza-Palestina pun selalu menjadi korban akan "superioritas moral" bangsa Israel yang didukung oleh Amerika. Tanpa ampun mereka bom bardir warga Gaza di tanah airnya sendiri. Anak-anak, perempuan, hingga tempat-tempat ibadah tak luput dari kebrutalan bangsa dengan "superioritas moral" nya itu.

Waspadalah selalu "superioritas moral" sebuah bangsa dan negara yang marak saat ini...! Tunggu kelanjutan-nya...

Jangan Salahkan Moral Generasi Muda, Mengapa?


Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “jumlah anak-anak hanya 25% dari total penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan bangsa”. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh generasi muda terhadap maju-mundurnya sebuah bangsa. Untuk itu kualitas generasi muda sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah bangsa. Manakala generasi mudanya “bobrok”, maka “bobrok” pula bangsa tersebut. Manakala generasi mudanya “latah”, maka “latah” pula bangsa tersebut. Sebaliknya manakala generasi mudanya jujur, tekun, sopan, cinta damai, kerja keras, dan bertanggungjawab, maka dipastikan akan baik pula kualitas bangsa tersebut.

Profesor pendidikan dari Cortland University, yaitu Prof. Thomas Lockona mengungkapkan bahwa ada “tanda-tanda zaman” yang harus diwaspadai karena konon kalau tanda-tanda itu sudah ada atau muncul pada sebuah bangsa, maka akan tiba kehancuran bangsa tersebut.Tanda-tanda yang dikemukakan oleh Prof. Thomas Lockona itu antaralain:

• Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
• Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk
• Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan
• Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti narkoba, free seks dan alkohol
• Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk
• Penurunan etos kerja
• Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
• Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga Negara
• Ketidakjujuran yang begitu membudaya
• Rasa saling curiga dan kebencian di antara sesame

Maraknya kenakalan, tawuan, dan kriminalitas yang dilakukan oleh remaja akhir-akhir ini bisa jadi merupakan “tanda-tanda zaman” seperti yang dikemukakan oleh Prof. Cortland University. Mulai dari penyalahgunaan narkoba (drug’s), pergaulan bebas, tawauran pelajar & mahasiswa, dst merupakan sebagian kecil contoh yang masuk dalam indicator “tanda-tanda zaman” itu. Jika benar adanya demikian, rela-kah kita jika bangsa ini menuju jurang kehancuran seperti kata Prof. Cortland? Penulis yakin kita semua tidak ada yang mau bangsa-nya hancur, kecuali mereka yang telah mati hati nurani-nya.

Pada dasarnya seluruh manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitri (suci). Tidak ada manusia yang dilahirkan untuk dipersiapkan menjadi teroris, perampok, preman, pembunuh, koruptor, atau penjahat-penjahat lainnya. Begitu pula dengan generasi muda bangsa, baik atau buruk akhlak mereka sangat bergantung pada bagaimana dididik dan dibesarkan dalam lingkungannya. Baik itu lingkungan keluarga, sekolah, komunitas, hingga lingkungan sosial masyarakat.

Penulis melihat terjadinya dekadensi moral pada generasi muda saat ini adalah merupakan cerminan moral dari para generasi tua-nya, tentu di samping dari efek globalisasi yang tidak bisa dipungkiri. Mengapa cerminan dari para generasi tua? Sebab berdasar teori sosiologi, setiap generasi muda akan meniru (bercermin) dari apa yang dilakukan oleh generasi tua-nya. Manakala moral generasi tua-nya rusak, maka rusak pula moral generasi muda-nya seperti yang terjadi sekarang ini. Maka dari itu sebelum menyalahkan para generasi muda, menurut hemat penulis lebih bijak bila para generasi tua pun mau instropeksi diri.

Penulis melihat selama ini kita hanya sibuk menyalahkan generasi muda yang mulai “bobrok” moral-nya, tanpa melihat dan menghayati factor-faktor yang menyebabkan-nya secara lebih bijak (seperti para mahasiswa Analisis Kebijakan Pendidikan UNY, hehe). Sebenarnya jika kita mau melihat lebih bijak, krisis moral yang melanda generasi muda kita saat ini, tidak bisa dilepaskan dari krisis “ketauladanan” di negeri ini. Penulis melihat Indonesia sekarang ini benar-benar sedang mengalami krisis “ketauladanan” yang bisa jadi ini-lah hulu dari aliran deras krisis multidimensi yang melanda bangsa akhir-akhir ini.

Tidak bisa dipungkiri kini Indonesia khususnya dalam bahasan ini para generasi muda sedang merindukan akan hadirnya sosok atau seorang tokoh manusia yang mampu menjadi suritauladan yang baik bagi mereka. Selama ini memang kita punya banyak tokoh-tokoh bangsa yang besar pengaruhnya terhadap generasi muda, seperti Soekarno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro, Tan Malaka, dst. Namun kini tokoh-tokoh bangsa kharismatik itu telah pergi. Dan sekarang penulis melihat generasi muda Indonesia butuh seorang tokoh bangsa yang kharismatik di zaman globalisasi ini.

Penulis melihat akibat dari “krisis kesuritauladanan” selama ini, membuat para generasi muda banyak yang merasa bingung terombang-ambing oleh zaman. Akhirnya mereka-pun mencontoh para tokoh-tokoh idola, mulai dari artis, pemain sepak bola, bintang-bintang film, tokoh-tokoh superhero, para penyanyi, anak band, dan tokoh-tokoh lain yang mereka kagumi. Memang bagus jika yang dicontoh hal-hal positif dari idola mereka itu, seperti kesuksesan dan keberhasilan-nya. Namun ironisnya kini banyak generasi muda yang meniru penuh hingga mengidentikkan diri mereka atas segala hal yang ada dan dilakukan oleh idola-nya itu. Mulai dari gaya berpakaian, gaya berjalan, cara bicara, dll. Yang dikhawatirkan banyak kalangan adalah manakala mereka menirukan idola yang tidak baik. Ini tentu akan membuat generasi muda menjadi tidak baik pula.

Rekomendasi atau solusi

Pada akhirnya krisis moral atau dekadensi moral generasi muda Indonesia merupakan tanggungjawab kita bersama. Tidak perlu saling melempar kesalahan, atau bahkan memvonis seseorang. Yang dibutuhkan saat ini yaitu sebuah solusi yang bijak. Solusi bijak yang dibutuhkan oleh generasi muda Indonesia saat ini, menurut hemat penulis yaitu “kesuritauladanan” yang baik dari para generasi tua serta pemimpin bangsa. Seperti kata pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maka dari itu perlu adanya kesadaran seluruh komponen dan elemen bangsa untuk mewujudkan sebuah kultur yang menekankan salah satu-nya pada “kesuritauladanan” yang baik.

Kesuritauladanan yang baik terhadap generasi muda sangat urgen, dan harus segera dibudayakan kembali dalam masyarakat kita. Mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh artis (dunia hiburan), dunia pendidikan, hingga pemimpin bangsa harus aktif andil bagian dalam hal ini. Jangan ada lagi miss komunikasi dan jurang pemisah antara generasi muda dan generasi tua seperti yang terjadi sekarang. Dari analisa penulis, akhir-akhir ini nampaknya ada komunikasi yang putus antara generasi muda dan generasi tua. Penulis merasa ada hubungan yang kurang harmonis diantara keduanya. Mungkin ini karena masih adanya ego yang besar diantara “kubu muda dan kubu tua”.

Kini kebanyakan generasi muda enggan bergaul dan “srawung” atau belajar dari generasi tua, karena beranggapan bahwa generasi tua kurang “GAUL”, ribet, cenderung bertele-tele, tidak bebas, dsb. Sedangkan generasi tua pun kini agaknya kurang peduli terhadap tuntutan generasi muda. Generasi tua justru hanya memvonis generasi muda, yang sering kali menimbulkan masalah sosial selama ini. Meruntut akar permasalahannya, sebenarnya ini menunjukkan adanya ego di keduabelah pihak hingga tidak adanya komunikasi antara mereka. Maka dari itu perlu digalakkan kembali komunikasi yang intens antara generasi muda dan generasi tua.

Harus diakui generasi muda masih butuh banyak pembelajaran dari generasi tua pendahulu. Untuk itu generasi tua sebagai yang lebih berpengalaman harus aktif membimbing, mengarahkan, serta memberikan pengayoman kepada para generasi muda, dan tidak hanya memberikan vonis ataupun sumpah serapah. Akhirnya teriring kata “Bersatulah generasi muda dan generasi tua demi kebangkitan bangsa Indonesia, DEMI KEJAYAAN NKRI…!”