Rabu, 07 Juli 2010

AWAS, BAHAYA "LATEN" KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini telah menjadi sebuah rahasia umum yang amat memprihatinkan. Komodifikasi pendidikan nampaknya kini semakin sulit dibendung, nyaris terjadi di berbagai sector dan jenjang pendidikan. Gejala komodifikasi pendidikan itu telah menjangkit mulai dari jenjang playgroup hingga perguruan tinggi yang semakin kasatmata. 

Contoh praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi pada akhir-akhir ini yaitu mahalnya biaya untuk masuk sebuah perguruan tinggi (PT) favorit. Kita ketahui bersama kini untuk sekedar bisa mendapatkan formulir pendaftaran saja para calon mahasiswa harus rela mengeluarkan uang yang cukup besar dan tidak terjangkau oleh kaum miskin. Belum lagi besarnya biaya sumbangan pengembangan institusi yang harus dibayarkan. Bahkan di kota-kota besar untuk sekedar masuk playgroup saja para orang tua harus rela mengeluarkan uang jutaan rupiah.

Adanya praktik komodifikasi atau komersialisasi pendidikan ini perlu menjadi perhatian dan kewaspadaan kita bersama. Karena bagaimanapun wujud dan modelnya, jika terus dibiarkan akan semakin mempertajam kesenjangan social yang terjadi dalam masyarakat. Akses masyarakat terutama golongan menengah ke bawah untuk mendapatkan layanan pendidikan yang adil (baca: bermutu dan merata) menjadi semakin sulit dan jauh dari kenyataan. Kini layanan dan kualitas pendidikan yang bermutu tinggi hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya kantong tebal. Sementara bagi para golongan menengah ke bawah harus cukup puas dengan layanan dan kualitas pendidikan yang juga masih jauh dari standar.

Hal yang menjadi salah satu pemicu adanya komersialisasi pendidikan adalah kultur akademik di negeri ini yang masih belum dewasa. Perguruan Tinggi misalnya, kini banyak yang masih “manja” dan bergantung kepada pemerintah dalam hal pembiayaan dan pendanaan pendidikan. Sehingga manakala anggaran yang dikucurkan pemerintah dirasa masih kurang, mereka gunakan segala cara untuk mengeruk dana dari para orang tua atau masyarakat.

Solusi untuk keluar dari permasalahan ini yaitu perlu dibangun kultur akademik yang lebih dewasa. Perguruan Tinggi jangan lagi bermanja-manja menggantungkan anggaran yang dikucurkan oleh Pemerintah. Dan jangan pula membebankannya kepada masyarakat atau orang tua para peserta didik. Ada cara yang lebih bijaksana dan merakyat. Yakni pengembangan berbagai potensi yang ada di Perguruan Tinggi. Misal melalui kerjasama dalam berbagai riset, pelatihan-pelatihan, diklat dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih produktif. Dari pada melalui cara-cara penarikan dana terhadap masyarakat yang sesungguhnya tidaklah etis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar