Hai para sahabat pembaca sekalian, pernahkah Anda melihat orang yang nampaknya selalu hidup dalam kesendirian. Pernahkah sahabat pembaca sekalian menyaksikan orang-orang yang nampaknya tidak punya kawan atau teman, dan lebih sering dalam kesendirian. Biasanya kita sering kali mencemooh orang yang nampak selalu sendiri atau kurang dalam bersosialisasi dengan sebutan “manusia individualis atau manusia egois”.Benarkah mereka itu patut kita sebut sebagai “manusia individualis” atau manusia egois”?
Menurut saya pribadi sebenarnya tidak selamanya cap itu patut kita berikan kepada mereka orang-orang yang suka dalam kesendirian. Bahkan seringkali tidak tepat, sebab bersahabat dengan kesendirian merupakan sebuah pilihan hidup. Kita tahu hidup ini penuh dengan pilihan. Kita boleh memilih apapun yang kita yakini, asalkan tetap sesuai dengan kaidah-kaidah dan berjalan pada rel kehidupan yang tepat. Sebenarnya mungkin tidak ada yang ingin bersahabat dengan kesendirian, karena sifat alamiah manusia yang ingin selalu bersosialisasi dan diakui eksistensinya. Namun ada banyak factor yang mendorong seseorang untuk lebih memilih hidup dalam kesendirian.
Pada zaman globalisasi seperti sekarang ini terkadang juga menjadi pemicu seseorang untuk lebih memilih bersahabat dengan kesendirian. Misalnya saja seseorang memilih bersahabat dengan kesendirian karena merasa tidak cocok atau tidak nyaman hidup di lingkungannya. Mungkin lingkungannya kurang mendukung seseorang itu untuk diakui eksistensinya. Bisa jadi factor pemicunya karena seseorang selalu dicemooh atau diejek dalam kehidupan sosialnya. Sehingga mungkin orang itu merasa rendah diri, minder, frustasi, stress, dsb yang pada akhirnya memutuskan untuk bersahabat dengan kesendirian. Mungkin orang-orang seperti itu merasa lebih enjoy ketika hidup dalam kesendiriannya.
Namun yang ingin saya tekankan dalam hal ini bagaimana kita menyikapi dengan baik terhadap orang-orang yang lebih suka “bersahabat dengan kesendirian”. Yang harus kita pahami dan sadari bersama saat ini adalah tidak selamanya orang-orang yang cenderung bersahabat dengan kesendiriannya itu bersifat negative. Dan bisa dengan seenaknya kita cap sebagai orang yang individualis atau manusia egois. Mengapa? Kembali lagi harus kita lihat secara bijak dan komprehensif semua itu. Jangan melihat dan menilai segala sesuatu terutama “menilai seorang manusia” dengan hanya memandang satu sisi atau dalam satu sudut pandang saja. Karena memang setiap manusia itudiciptakan oleh Tuhan atau Allah SWT dengan berbeda-beda dan memiliki keunikan khusus pada masing-maing pribadi. Manusia bisa dibilang makhluk Allah SWT yang paling unik dibandingkan makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
Nah dalam “menilai seseorang” kita tidak berhak menghakimi atau bahkan memvonisnya dengan sesuka kita. Sebab yang lebih berhak menilai seseorang itu hanyalah Allah SWT semata. Kita sebagai manusia biasa tentu dalam menilai seseorang ada batasannya. Karena sesama makhluk ciptaan-Nya setiapdiri kita pun memiliki ketidaksempurnaan. Sehingga dalam hidup ini sebisa mungkin kita harus menjadi pribadi yang bijaksana. Kemabli lagi, bahwa bersahabat dengan kesendirian itu tidak-lah selamanya karena sifat egois atau individualis pada diri seseorang. Ada banyak alasan yang memicu seseorang lebih memilih bersahabat dengan kesendirian seperti yang telah saya jelaskan di atas.
Faktor pemicu lain yaitu mungkin saja orang tersebut ingin lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab dari pengamatan saya selama ini, menemukan ada beberapa orang yang sering dicap “egois”, “individualis”, “tidak punya teman”, “tidak sosial” dan sebagainya, namun di balik semua itu ternyata SUBHANALLAH orang tersebut justru sangat peduli dan rasa sosialnya pun sangat tinggi. Hanya saja “mereka” itu lebih memilih untuk tidak diketahui oleh orang lain. “Mereka” ingin berbuat suatu kebaikan tanpa diketahui oleh orang lain, cukup dilihat Allah saja. Tentu ini hak “mereka” dan sebuah jalan hidup yang “mereka” pilih. Kita sebagai manusia biasa tidak memiliki hak untuk menilai seseorang atas sudut pandang kita semata.
Sedikit cerita nyata, saya punya seorang sahabat yang tidak mau disebutkan namanya. Dia merupakan seseorang yang “nampaknya” dari sudut pandang manusia biasa ia terlihat memilih bersahabat dengan kesendirian. Padahal nyatanya sahabat saya itu sangat peduli terhadap sesama, baik sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Bahkan ia juga sangat peduli akan bangsa dan negaranya. Ia seringkali menyebarkan semangat perdamaian dan nasionalisme terutama melalui tulisan-tulisannya. Ia juga tidak segan-segan turun sejenak di jalan saat melihat ada batu ataupun benda di tengah jalan, yang ia rasa bisa membahayakan keselamatan para pengguna jalan. Namun tak ada orang yang tahu, bahkan ia seringkali dicap manusia yang kurang sosial, orang tertutup, egois , dan cap-cap lainnya. Sahabat saya yang satu ini tetap tidak peduli akan cap-cap itu. Dan ia pun tidak pernah menginginkan perbuatannya itu dilihat, dipuji, ataupun diekspose oleh orang lain. Ia lebih memilih hanya Allah semata yang menilainya.
Sesungguhnya setiap kita para manusia butuh saat-saat kesendirian. Karena kesendirian merupakan waktu untuk introspeksi diri, waktu untuk menata hati, waktu untuk mengasah ketajaman dan kepekaan naluri serta nurani kita. Kesendirian juga bisa disebut sebagai sebuah seni. Yaitu seni untuk menemukan dan mengolah bakat, segala potensi, serta kemampuan yang ada pada diri kita. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah seni untuk lebih mendekatkan diri kita kepada Allah sang Maha Pencipta.
Jika kita menengok sejarah, ada banyak manusia yang jiwa dan pemikirannya menjadi besar serta mencerahkan dunia di balik kesendiriannya . Mereka merupakan manusia mulia yang mampu berkontemplasi, dan saat kesendiriannya mampu berdialog dengan sang diri. Mereka itu antara lain; Nabi Muhammad SAW, Kahlil Gibran, Mahatma Gandi, Siddhartha Gautama, Soekarno, dan masih banyak lagi lainnya. Kita bisa melihat betapa kesendirian telah menuntun mereka menemukan hakikat dan inti dari kebenaran-kehidupan. Di samping itu dibalik kesendiriannya mereka mampu menuntun umat manusia untuk meniti jalan cahaya-Nya.
Pada akhirnya marilah kita renungkan kembali semua ini. Bersahabat dengan kebersamaan memang lebih indah dibandingkan jika bersahabat dengan kesendirian. Namun ada banyak hal yang hanya bisa kita rasakan saat-saat kesendirian. Dibalik kesendirian itu kita bisa temukan jati diri yang sesungguhnya. Dalam kesendirian, mendidik jiwa kita menjadi lebih kuat dalam menghadapi kehidupan. Dalam kesendirian kita dapat rasakan keheningan, ketentraman, serta kedamaian yang sejati dalam hati. Hanya dalam kesendirian pula kita dapat merasakan kehadiran Tuhan. Sebab dalam kesendirian dalam kesendirian manusia sesungguhnya Tuhan begitu dekat. Saat-saat itulah Tuhan merindukan rintihan umat-Nya.
Sekali lagi saya tekankan, bersahabat dengan kesendirian merupakan sebuah pilihan hidup. Dan jangan pernah kita samakan hal itu dengan ke-egois-an atau individualisme. Bersikap bijak dalam segala hal itu sesungguhnya lebih mulia.dan disukai oleh-Nya. Maka jangan pernah menilai seseorang hanya dari satu sisi atau sudut pandang kita semata. Allah SWT –lah satu-satunya zat yang berhak menilai manusia. Perlu kita ketahui dan sadari bersama, tentu berjuang dalam kebersamaan itu lebih terasa ringan, indah dan sudah sewajarnya. Namun ada sebagian orang yang lebih memilih rela berjuang dalam kesendiriannya. “Mereka” berjuang dengan tulus ikhlas dan tak mau pamer, tak mengharapkan penghargaan maupun pujian, apalagi sekedar mencari sensasi di depan layar kaca dunia yang semu ini.
Nah kembali lagi pada diri pribadi masing-masing kita, apakah mau memilih bersahabat dalam kebersamaan ataukah bersahabat dengan kesendirian.Yang ideal menurut saya pribadi adalah kita harus bersikap sewajarnya. Kita harus mampu bersosialisasi dalam ikatan kebersamaan. Namun kita jangan sampai hanyut tenggelam dalam arus kebersamaan itu. Setiap diri kita dianugerahi potensi, bakat, minat dan keunikan yang tidak sama oleh-Nya. Maka kita harus memiliki keunikan itu, yang mana kita pegang teguh menjadi identitas diri dan karakter pribadi kita. Jangan selalu beranggapan bahwa yang mayoritas itu adalah benar, yang dikerjakan banyak orang itu pasti tepat. Ingat, tidak semua yang disepakati bersama oleh “mayoritas” manusia selalu baik dan benar di mata Allah SWT. Marilah kita kembalikan segalanya hanya kepada Allah semata, sang Maha Pencipta.