Rabu, 30 Juni 2010

Isu Terkini Pendidikan Karakter di Indonesia


Banyak sekali isu-isu kontemporer pendidikan yang berkembang di Indonesia saat ini. Isu-isu tersebut menarik perhatian berbagai pihak, mulai dari para pendidik, pengamat, analis, praktisi pendidikan, hingga masyarakat luas. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini . Isu kontemporer pendidikan yang paling hangat saat ini adalah terkait "Pendidikan Karakter".

REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER

Munculnya gagasan tentang pendidikan karakter pada akhir-akhir ini cukup menarik perhatian berbagai kalangan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri pendidikan karakter memang sangat urgen bagi bangsa Indonesia, terutama untuk mempersiapkan generasi muda sebagai para calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Melalui pendidikan karakter diharapkan mampu mencetak para generasi abad 21 yang tidak hanya “pintar” logikanya, akan tetapi juga mewarisi karakter bangsa yang luhur. Untuk itulah revitalisasi pendidikan karakter menjadi sebuah program yang sangat penting.

Seperti kita ketahui bersama saat ini tampak begitu jelas dekadensi moral yang sedang menjangkit bangsa ini. Hasil survey terakhir terhadap pergaulan bebas pada remaja kita amat mengkhawatirkan. Kesadaran masyarakat akan budaya kebersihan semakin menurun. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan semakin memprihatinkan. Masih banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai sebagai layaknya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah hingga mengakibatkan bencana banjir. Budaya antre dan sopan-santun semakin pudar ditelan oleh arus zaman globalisasi. Materialistik, konsumerisme, hedonisme, sekulerisme dan individualistic kini secara perlahan tapi pasti telah menginternalized dalam masyarakat. Pelanggaran lalu lintas dan tata tertib menjadi budaya baru yang seolah mengokohkan sebuah anekdot bahwa “hukum dan tata tertib memang dibuat untuk dilanggar”. Di sisi lain kasus-kasus kekerasan, plagiarisme, illegal logging dan korupsi pun kian menjamur. Inilah beberapa fakta yang dapat menjadi pertimbangan dan renungan bangsa ini betapa urgen-nya moral and character building bagi terwujudnya bangsa Indonesia yang unggul dan beradab.

Dalam pelaksanaan pendidikan karakter memang tidak semudah yang kita bayangkan.  Butuh proses yang cukup lama dan SDM yang unggul dalam pengimplementasian-nya. Pendidikan karakter juga harus dilakukan secara holistic dan terintegrasi. Untuk itu pendidikan karakter tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada sekolah. Masyarakat perlu diberikan penyadaran bahwa pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama. Menurut hemat penulis, untuk memaksimalkan tercapainya program pendidikan karakter sangat dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat secara terpadu. Mulai dari pihak keluarga,
sekolah, lingkungan sosial masyarakat, institusi kepolisian hingga media cetak maupun elektronik yang turut berpengaruh dalam pembentukan karakter seorang anak.

Yang pertama pihak keluarga. Keluarga merupakan wahana pendidikan karakter yang paling utama bagi seorang anak. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini di dalam lingkungan keluarga. Usia dini merupakan masa emas yang sangat efektif bagi pembentukan karakter seseorang. Dalam hal inilah dituntut adanya kesadaran orang tua untuk menanamkan nilai-nilai karakter positif ke dalam jiwa anak mereka. Keluarga atau orang tua harus selalu memberikan nasihat-nasihat positif serta menunjukkan kesuritauladanan yang baik dihadapan anak mereka. Orang tua sebisa mungkin harus berusaha menciptakan kondisi rumah yang nyaman bagi anak mereka. Tentunya sebuah rumah yang dibalut dengan cinta, kasih sayang serta kultur demokratis di dalamnya.

Yang kedua pihak sekolah. Sekolah merupakan wahana yang sangat efektif sebagai tempat pembinaan dan pengembangan karakter secara terintegrasi melalui para pendidik di luar lingkup keluarga. Untuk itu diharapkan sekolah mampu menjadi motor penggerak dalam pembangunan karakter bangsa (moral and chaakter building). Untuk itu suasana dan kultur sekolah harus dikondisikan dimana nilai-nilai luhur amat sangat dijunjung tinggi oleh seluruh warga sekolah. Para pendidik harus selalu berusaha menunjukkan sikap kesuritauladanan yang positif dalam menghayati nilai-nilai luhur yang mereka ajarkan. Pendidik (guru) harus berusaha mengintegrasikan setiap matapelajaran yang diajarkan dengan nilai-nilai penghayatan yang perlu ditekankan kepada para siswa, ini sering dikenal dengan istilah hidden curriculum. Di samping itu menurut hemat penulis pendidikan karakter di sekolah juga perlu diintegrasikan dalam kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler, semisal PMR, OSIS, Kepramukaan, pembinaan kerohanian, olahraga, bakti sosial, dll.

Yang ketiga lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial masyarakat sangat berpengaruh terhadap berhasil-tidaknya proses character building pada seorang anak. Untuk itu sekali lagi penulis tekankan perlu adanya penyadaran kepada masyarakat melalui berbagai media dan cara bahwa pendidikan karakter merupakan tanggungjawab kita bersama. Maka diharapkan masyarakat turut berperan aktif dalam menciptakan lingkungan sosial masyarakat yang kondusif serta kultur masyarakat yang mendukung bagi tumbuhkembang seorang anak.   

Yang keempat pihak institusi Kepolisian. Dalam implementasi pendidikan karakter tentu perlu adanya dukungan dan kerjasama dari institusi Kepolisian. Untuk itu harus dijalin kerjasama yang kuat antara pihak sekolah dan institusi Kepolisian. Kerjasama tersebut dapat meliputi berbagai hal, antaralain yaitu; penyuluhan tertib berlalu-lintas, gerakan sekolah bebas miras dan narkoba, swipping terhadap benda-benda terlarang (cd/gambar porno, HP ber-film porno, senjata tajam,dll), pelatihan kepemimpinan, penertiban terhadap siswa yang bolos pada jam-jam sekolah, pencegahan tawuran antar pelajar, dsb.

Yang kelima pihak Media (cetak maupun elektronik). Pengaruh media baik cetak maupun elektronik terhadap perkembangan mental dan moral (karakter) pada seorang anak sangat besar. Penulis pun sering mengamati adanya agresivitas yang berlebihan pada seorang anak setelah ia menonton sebuah film perang di TV. Bahkan dari data survey yang dilakukan oleh BKKBN terakhir menyebutkan bahwa cukup banyak remaja kita saat ini yang telah mempraktikan kissing, netting, petting hingga intercourse (knpi) yang pada umumnya terinspirasi dari tayangan yang diekspose melalui media contohnya TV, internet, majalah porno, video porno, dsb. Kebebasan pun sering kali disalahgunakan oleh media-media yang tidak bertanggungjawab demi mengejar keuntungan semata, tanpa mempedulikan dampak dari tayangan tersebut. Contohnya saja kini makin menjamur film-film bioskop horor yang dibumbui oleh pornografi dan pornoaksi. Di luar semua ini masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang perlu adanya kesadaran dan kepedulian kita bersama.

Itulah beberapa solusi yang dapat penulis rekomendasikan dalam rangka upaya revitalisasi pendidikan karakter bangsa Indonesia. Pada akhirnya Pendidikan Karakter (character building) sebagai upaya membangun keberadaban bangsa menjadi sebuah keharusan dan mendesak segera dilaksanakan. Jangan sampai ini semua berakhir sekedar wacana. Semoga...!

Isu Kontemporer Pendidikan di Indonesia

Isu-isu kontemporer pendidikan di Indonesia saat ini banyak sekali. Isu-isu tersebut berkembang begitu cepat dan pesat dengan adanya perkembangan ICT sekarang ini. Kontemporer artinya kekinian, modern atau sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama saat ini. Jadi isu kontemporer pendidikan  menurut penulis adalah isu-isu terkait dunia pendidikan yang tidak terikat lagi oleh aturan-aturan zaman dulu, dan berkembang sesuai zaman sekarang. Salah satu isu kontemporer pendidikan di Indonesia yaitu "Komersialisasi Pendidikan" .

Harus jujur diakui praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini telah menjadi sebuah rahasia umum. Nampaknya gejala komodifikasi pendidikan itu telah menjangkit mulai dari jenjang playgroup hingga perguruan tinggi, baik itu swasta maupun negeri. Contohnya yang paling sederhana yaitu semakin mahalnya biaya untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi sekarang ini. Belum lagi besarnya biaya sumbangan pengembangan institusi yang harus dibayarkan. Bahkan di kota-kota besar untuk sekedar masuk jenjang playgroup saja para orang tua harus rela mengeluarkan uang jutaan rupiah.

Adanya praktik komodifikasi atau komersialisasi pendidikan saat ini harus menjadi perhatian serius Pemerintah. Hal ini menunjukkan pengelolaan pembiayaan pendidikan yang ada saat ini masih jauh dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan di dalam UU Sisdiknas Tahun 2003. Dalam pasal 48 UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pengelolaan pembiayaan pendidikan harus menegakkan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik. 

Prinsip keadilan, artinya setiap warga negara berhak mendapatkan mutu dan pelayanan pendidikan yang layak tanpa adanya diskriminasi. Prinsip efisiensi, artinya adanya keselarasan antara biaya pendidikan yang dikeluarkan dengan pencapaian prestasi/tujuan yang dihasilkan. Prinsip transparansi, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan harus terbuka kepada masyarakat tentang sumber-sumber dana dan penggunaanya. Prinsip akuntabilitas publik, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan sejak perencanaan hingga dampak/produk yang dihasilkan dari pembiayaan pendidikan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan pada publik.

Pada akhirnya pengelolaan pembiayaan/pendanaan pendidikan yang berpijak pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik merupakan amanah konstitusi yang wajib kita laksanakan. Tentu untuk mewujudkan ini semua perlu adanya dukungan dan pengawasan (controlling) dari berbagai pihak, baik Pemerintah, stakeholder pendidikan dan seluruh komponen bangsa.

SUPERIORITAS MORAL

Menurut Carl G. Jung, sikap superioritas moral merupakan akar dari kebrutalan manusia yang akan membawa kerusakan di dunia. Masih menurut Jung, siapa saja yang merasa diri-nya paling bermoral, baik itu sebagai individu atau sebagai bangsa, biasanya akan sangat membenci keburukan yang ia lihat pada orang lain. Sehingga mereka yang memiliki “superioritas moral” biasanya meyakini bahwa membasmi keburukan yang ada di hadapan-nya adalah hal yang mulia.

Carl G. Jung memberikan contoh kekejaman Nazi dalam analisis-nya. Dalam kekejaman Nazi kala itu, banyak bangsa Jerman yang mengidentifikasikan diri-nya dengan kebesaran bangsa Aria. Waktu itu mereka konon meyakini bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang terbaik. Hal itu-lah yang selalu dipropagandakan oleh Hitler, sehingga banyak yang mendukung kebijakan-nya saat itu. Walau tindakan Hitler sangat kejam, namun tetap dibenarkan oleh para pendukungnya yang meyakini bahwa tindakan Hitler didasari atas tujuan “mulia”. Superioritas moral sebuah bangsa memang sebuah ancaman bagi dunia ini, terutama jika superioritas moral itu ada pada bangsa-bangsa yang merasa di atas angin.

Salah satu contoh “superioritas moral” yang ada saat ini adalah (maaf) Amerika Serikat. Sudah lebih dari 100 tahun bangsa Amerika percaya pada superioritas moral-nya. Konon ini berlangsung sejak Menteri Luar Negeri Elihu Root, berkata pada tahun 1899 ketika perang Amerika-Spanyol berlangsung. Menurutnya kala itu tentara Amerika adalah “different from all other soldiers of all other countries since the world began. He is the advance guard of liberty and justice, of law and order and of peace and happiness”. Hal ini membuat bangsa Amerika semakin yakin bahwa Amerika adalah Negara yang paling bermoral diantara Negara-negara di dunia. 

Superioritas moral itu-lah yang membuat mereka kini menjadi bangsa yang paling disegani di dunia. Bahkan PBB pun seolah tunduk pada Amerika, terbukti banyak resolusi yang menyangkut kemerdekaan Palestina yang ditolak melalui veto Amerika. Merasa paling bermoral membuat Amerika seringkali tidak mau tunduk pada keputusan multilateral PBB. Mungkin mereka meyakini bahwa tunduk kepada Negara-negara lain yang tergabung di PBB (yang menurut Amerika moralitasnya lebih rendah), merupakan tindakan yang tidak bermoral. Ironis sekali…!

Pemerintah Amerika selama ini selalu mengaku bahwa AS merupakan Negara yang paling menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, kebebasan, dan demokrasi. Sehingga Amerika mendeklarasikan Negara-nya sebagai “Polisi Dunia”. Sebagai “Polisi Dunia” seharusnya sudah menjadi kewajibannya menjaga keamanan dan ketertiban Dunia. Namun pada kenyataan-nya lagi-lagi Amerika sering kali merasa “paling suci”, hingga menyalahgunakan “kedigdayaan-nya” itu. Invasi ke negara Irak adalah salah satunya contonya.

Penulis melihat sepertinya bangsa Israel yang merupakan anak kesayangan dari negara Amerika pun tidak jauh dari sang induknya. Bangsa Israel merasa sebagai bangsa yang terbaik di dunia, hingga mereka mendapat dukungan penuh dari Amerika. Warga Gaza-Palestina pun selalu menjadi korban akan "superioritas moral" bangsa Israel yang didukung oleh Amerika. Tanpa ampun mereka bom bardir warga Gaza di tanah airnya sendiri. Anak-anak, perempuan, hingga tempat-tempat ibadah tak luput dari kebrutalan bangsa dengan "superioritas moral" nya itu.

Waspadalah selalu "superioritas moral" sebuah bangsa dan negara yang marak saat ini...! Tunggu kelanjutan-nya...

Jangan Salahkan Moral Generasi Muda, Mengapa?


Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “jumlah anak-anak hanya 25% dari total penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan bangsa”. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh generasi muda terhadap maju-mundurnya sebuah bangsa. Untuk itu kualitas generasi muda sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah bangsa. Manakala generasi mudanya “bobrok”, maka “bobrok” pula bangsa tersebut. Manakala generasi mudanya “latah”, maka “latah” pula bangsa tersebut. Sebaliknya manakala generasi mudanya jujur, tekun, sopan, cinta damai, kerja keras, dan bertanggungjawab, maka dipastikan akan baik pula kualitas bangsa tersebut.

Profesor pendidikan dari Cortland University, yaitu Prof. Thomas Lockona mengungkapkan bahwa ada “tanda-tanda zaman” yang harus diwaspadai karena konon kalau tanda-tanda itu sudah ada atau muncul pada sebuah bangsa, maka akan tiba kehancuran bangsa tersebut.Tanda-tanda yang dikemukakan oleh Prof. Thomas Lockona itu antaralain:

• Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
• Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk
• Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan
• Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti narkoba, free seks dan alkohol
• Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk
• Penurunan etos kerja
• Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
• Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga Negara
• Ketidakjujuran yang begitu membudaya
• Rasa saling curiga dan kebencian di antara sesame

Maraknya kenakalan, tawuan, dan kriminalitas yang dilakukan oleh remaja akhir-akhir ini bisa jadi merupakan “tanda-tanda zaman” seperti yang dikemukakan oleh Prof. Cortland University. Mulai dari penyalahgunaan narkoba (drug’s), pergaulan bebas, tawauran pelajar & mahasiswa, dst merupakan sebagian kecil contoh yang masuk dalam indicator “tanda-tanda zaman” itu. Jika benar adanya demikian, rela-kah kita jika bangsa ini menuju jurang kehancuran seperti kata Prof. Cortland? Penulis yakin kita semua tidak ada yang mau bangsa-nya hancur, kecuali mereka yang telah mati hati nurani-nya.

Pada dasarnya seluruh manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitri (suci). Tidak ada manusia yang dilahirkan untuk dipersiapkan menjadi teroris, perampok, preman, pembunuh, koruptor, atau penjahat-penjahat lainnya. Begitu pula dengan generasi muda bangsa, baik atau buruk akhlak mereka sangat bergantung pada bagaimana dididik dan dibesarkan dalam lingkungannya. Baik itu lingkungan keluarga, sekolah, komunitas, hingga lingkungan sosial masyarakat.

Penulis melihat terjadinya dekadensi moral pada generasi muda saat ini adalah merupakan cerminan moral dari para generasi tua-nya, tentu di samping dari efek globalisasi yang tidak bisa dipungkiri. Mengapa cerminan dari para generasi tua? Sebab berdasar teori sosiologi, setiap generasi muda akan meniru (bercermin) dari apa yang dilakukan oleh generasi tua-nya. Manakala moral generasi tua-nya rusak, maka rusak pula moral generasi muda-nya seperti yang terjadi sekarang ini. Maka dari itu sebelum menyalahkan para generasi muda, menurut hemat penulis lebih bijak bila para generasi tua pun mau instropeksi diri.

Penulis melihat selama ini kita hanya sibuk menyalahkan generasi muda yang mulai “bobrok” moral-nya, tanpa melihat dan menghayati factor-faktor yang menyebabkan-nya secara lebih bijak (seperti para mahasiswa Analisis Kebijakan Pendidikan UNY, hehe). Sebenarnya jika kita mau melihat lebih bijak, krisis moral yang melanda generasi muda kita saat ini, tidak bisa dilepaskan dari krisis “ketauladanan” di negeri ini. Penulis melihat Indonesia sekarang ini benar-benar sedang mengalami krisis “ketauladanan” yang bisa jadi ini-lah hulu dari aliran deras krisis multidimensi yang melanda bangsa akhir-akhir ini.

Tidak bisa dipungkiri kini Indonesia khususnya dalam bahasan ini para generasi muda sedang merindukan akan hadirnya sosok atau seorang tokoh manusia yang mampu menjadi suritauladan yang baik bagi mereka. Selama ini memang kita punya banyak tokoh-tokoh bangsa yang besar pengaruhnya terhadap generasi muda, seperti Soekarno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro, Tan Malaka, dst. Namun kini tokoh-tokoh bangsa kharismatik itu telah pergi. Dan sekarang penulis melihat generasi muda Indonesia butuh seorang tokoh bangsa yang kharismatik di zaman globalisasi ini.

Penulis melihat akibat dari “krisis kesuritauladanan” selama ini, membuat para generasi muda banyak yang merasa bingung terombang-ambing oleh zaman. Akhirnya mereka-pun mencontoh para tokoh-tokoh idola, mulai dari artis, pemain sepak bola, bintang-bintang film, tokoh-tokoh superhero, para penyanyi, anak band, dan tokoh-tokoh lain yang mereka kagumi. Memang bagus jika yang dicontoh hal-hal positif dari idola mereka itu, seperti kesuksesan dan keberhasilan-nya. Namun ironisnya kini banyak generasi muda yang meniru penuh hingga mengidentikkan diri mereka atas segala hal yang ada dan dilakukan oleh idola-nya itu. Mulai dari gaya berpakaian, gaya berjalan, cara bicara, dll. Yang dikhawatirkan banyak kalangan adalah manakala mereka menirukan idola yang tidak baik. Ini tentu akan membuat generasi muda menjadi tidak baik pula.

Rekomendasi atau solusi

Pada akhirnya krisis moral atau dekadensi moral generasi muda Indonesia merupakan tanggungjawab kita bersama. Tidak perlu saling melempar kesalahan, atau bahkan memvonis seseorang. Yang dibutuhkan saat ini yaitu sebuah solusi yang bijak. Solusi bijak yang dibutuhkan oleh generasi muda Indonesia saat ini, menurut hemat penulis yaitu “kesuritauladanan” yang baik dari para generasi tua serta pemimpin bangsa. Seperti kata pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maka dari itu perlu adanya kesadaran seluruh komponen dan elemen bangsa untuk mewujudkan sebuah kultur yang menekankan salah satu-nya pada “kesuritauladanan” yang baik.

Kesuritauladanan yang baik terhadap generasi muda sangat urgen, dan harus segera dibudayakan kembali dalam masyarakat kita. Mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh artis (dunia hiburan), dunia pendidikan, hingga pemimpin bangsa harus aktif andil bagian dalam hal ini. Jangan ada lagi miss komunikasi dan jurang pemisah antara generasi muda dan generasi tua seperti yang terjadi sekarang. Dari analisa penulis, akhir-akhir ini nampaknya ada komunikasi yang putus antara generasi muda dan generasi tua. Penulis merasa ada hubungan yang kurang harmonis diantara keduanya. Mungkin ini karena masih adanya ego yang besar diantara “kubu muda dan kubu tua”.

Kini kebanyakan generasi muda enggan bergaul dan “srawung” atau belajar dari generasi tua, karena beranggapan bahwa generasi tua kurang “GAUL”, ribet, cenderung bertele-tele, tidak bebas, dsb. Sedangkan generasi tua pun kini agaknya kurang peduli terhadap tuntutan generasi muda. Generasi tua justru hanya memvonis generasi muda, yang sering kali menimbulkan masalah sosial selama ini. Meruntut akar permasalahannya, sebenarnya ini menunjukkan adanya ego di keduabelah pihak hingga tidak adanya komunikasi antara mereka. Maka dari itu perlu digalakkan kembali komunikasi yang intens antara generasi muda dan generasi tua.

Harus diakui generasi muda masih butuh banyak pembelajaran dari generasi tua pendahulu. Untuk itu generasi tua sebagai yang lebih berpengalaman harus aktif membimbing, mengarahkan, serta memberikan pengayoman kepada para generasi muda, dan tidak hanya memberikan vonis ataupun sumpah serapah. Akhirnya teriring kata “Bersatulah generasi muda dan generasi tua demi kebangkitan bangsa Indonesia, DEMI KEJAYAAN NKRI…!”

PENDIDIKAN MORAL UNTUK GENERASI BANGSA


Melihat kondisi bangsa saat ini dimana banyak terjadi penyimpangan moral di kalangan remaja dan generasi muda, maka perlu adanya sebuah solusi bijak yang mampu mengatasi permasalahan ini hingga sampai ke akar-akarnya. Menurut penulis pendidikan merupakan media yang sangat efektif dalam mengatasi permasalahan dekadensi moral pada remaja dan generasi muda Indonesia sekarang ini. Salah satunya adalah melalui pendidikan moral di sekolah dan kampus, seperti di kampus UNY jurusan FSP.

Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu. Tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit.

Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat,dll.

Dalam pendidikan moral tidak dapat dilakukan hanya melalui ceramah, khotbah, atau cerita-cerita semata. Mungkin metode itu masih efektif sebelum memasuki zaman global seperti sekarang ini. Pendidikan moral melalui metode ceramah, khotbah, ataupun metode konvensional lainnya kini tidak efektif lagi jika diterapkan dalam pendidikan kita. Metode atau teknik-teknik demikian hanya akan menambah pengetahuan siswa ataupun mahasiswa, namun jarang sekali mampu merubah perilaku-nya.

Menurut Lickona dalam bukunya “Educating for Character” yang ditulis kembali oleh Paul Suparno, dkk (2002) , beliau menekankan pentingnya memperhatikan tiga unsur dalam menanamkan nilai moral, yaitu antara lain :

Yaitu kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Pengertian atau Pemahaman Moral ini seringkali disebut dengan penalaran moral atau pemikiran moral atau pertimbangan moral. Itu merupakan segi kognitif dari nilai moral. Segi kognitif ini perlu diajarkan dalam pendidikan moral kepada siswa maupun mahasiswa, dimana pendidik membantu mereka untuk mengerti mengapa suatu nilai perlu dilakukan.

Dalam hal ini lebih menekankan pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Wujud kongkrit dari perasaan moral ini yaitu perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain. Karena itu pendidik baik di sekolah maupun kampus, perlu memahami, megajarkan serta mengembangkan perasaan moral tersebut melalui pembukaan hati nurani dan penanaman sikap empati kepada para peserta didik

Yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral kedalam perilaku-perilaku nyata. Tindakan-tindakan moral ini harus difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam pergaulan remaja dan generasi muda sehari-hari. Menurut penulis di sekolah misalnya bisa difasilitasi melalui kegiatan bakti sosial, ROHIS (Kerohanian Islam), OSIS, Pramuka, PMR, dsb. Di kampus misalnya melalui kegiatan donor darah, kajian agama, pengajian rutin, kegiatan pengabdian masyarakat, dsb. Fasilitator-fasilitator itu perlu ditumbuhkan guna mendukung keberhasilan pendidikan atau pembelajaran moral di sekolah dan kampus.


Dekadensi Moral Generasi Bangsa

oleh Cipta Cinta Damai - Google - Blogger

Terjadinya dekadensi moral di kalangan remaja dan sebagian kecil mahasiswa pada akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Penggunaan narkotika (drug’s), perusakan fasilitas umum, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, penipuan, perjudian, mabuk-mabukan, penganiayaan, pornografi & pornoaksi, perkosaan, hingga hamil di luar nikah yang berujung aborsi seolah sedang menyelimuti kehidupan remaja dan generasi muda kita saat ini. Bahkan belakangan ini kerap kali terjadi kasus (maaf) perkosaan oleh remaja berusia belasan tahun terhadap teman atau sahabat sebayanya sendiri. Ini tentu tidak bisa kita katakana sebagai hal yang biasa. Perlu segera dicari akar permasalahannya dan segera diputuskan solusi yang bijak.

Moralitas remaja dan generasi muda harus mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak. Moralitas generasi bangsa akan sangat menentukan nasib negaranya di masa yang akan datang. Menurut Buchori (2002) di masa mendatang ini aka nada dua tantangan zaman yang harus dihadapi oleh generasi muda Indonesia. Pertama, tantangan untuk memulihkan kehidupan bangsa dari kekacauan yang ada sekarang ini. Kedua, tantangan menghadapi persoalan-persoalan yang lahir dari situasi global yang berkembang pada saat ini dan di masa-masa yang akan datang.

Maka muncullah berbagai pertanyaan di benak kita, juga penulis sendiri sebagai generasi muda Indonesia. Apakah generasi muda sekarang sudah menyadari betul tantangan zaman yang akan mereka hadapi kelak? Apakah para generasi muda sekarang mampu bertahan menghadapi serangan “badai demoralisasi” yang semakin mengerikan itu? Apakah para generasi muda sekarang mampu memulihkan kehidupan bangsa dari segala kekacauan dan kekerasan, sedang kini mereka sendiri lebih suka menyelesaikan permasalahan dengan otot, bukannya otak.

Kita sebaiknya jangan buru-buru memberikan vonis kepada para remaja dan generasi muda, sebelum kita ketahui asal-usul dan akar permasalahan dari dekadensi moralitas yang melanda mereka. Menurut Buchori (2002) segala kekalutan yang dihadapi anak bangsa saat ini merupakan akibat kumulatif dari kesalahan-kesalahan dalam mengambil keputusan politik oleh generasi-generasi yang telah lalu. Karena kesalahan-kesalahan tadi tidak segera terkoreksi, maka akhirnya menumpuk menjadi rangkaian persoalan yang tidak terselesaikan dan menimbulkan krisis.