oleh Cipta Cinta Damai
Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “jumlah anak-anak hanya 25% dari total penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan bangsa”. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh generasi muda terhadap maju-mundurnya sebuah bangsa. Untuk itu kualitas generasi muda sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah bangsa. Manakala generasi mudanya “bobrok”, maka “bobrok” pula bangsa tersebut. Manakala generasi mudanya “latah”, maka “latah” pula bangsa tersebut. Sebaliknya manakala generasi mudanya jujur, tekun, sopan, cinta damai, kerja keras, dan bertanggungjawab, maka dipastikan akan baik pula kualitas bangsa tersebut.
Profesor pendidikan dari Cortland University, yaitu Prof. Thomas Lockona mengungkapkan bahwa ada “tanda-tanda zaman” yang harus diwaspadai karena konon kalau tanda-tanda itu sudah ada atau muncul pada sebuah bangsa, maka akan tiba kehancuran bangsa tersebut.Tanda-tanda yang dikemukakan oleh Prof. Thomas Lockona itu antaralain:
• Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja
• Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk
• Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan
• Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti narkoba, free seks dan alkohol
• Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk
• Penurunan etos kerja
• Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
• Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga Negara
• Ketidakjujuran yang begitu membudaya
• Rasa saling curiga dan kebencian di antara sesame
Maraknya kenakalan, tawuan, dan kriminalitas yang dilakukan oleh remaja akhir-akhir ini bisa jadi merupakan “tanda-tanda zaman” seperti yang dikemukakan oleh Prof. Cortland University. Mulai dari penyalahgunaan narkoba (drug’s), pergaulan bebas, tawauran pelajar & mahasiswa, dst merupakan sebagian kecil contoh yang masuk dalam indicator “tanda-tanda zaman” itu. Jika benar adanya demikian, rela-kah kita jika bangsa ini menuju jurang kehancuran seperti kata Prof. Cortland? Penulis yakin kita semua tidak ada yang mau bangsa-nya hancur, kecuali mereka yang telah mati hati nurani-nya.
Pada dasarnya seluruh manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitri (suci). Tidak ada manusia yang dilahirkan untuk dipersiapkan menjadi teroris, perampok, preman, pembunuh, koruptor, atau penjahat-penjahat lainnya. Begitu pula dengan generasi muda bangsa, baik atau buruk akhlak mereka sangat bergantung pada bagaimana dididik dan dibesarkan dalam lingkungannya. Baik itu lingkungan keluarga, sekolah, komunitas, hingga lingkungan sosial masyarakat.
Penulis melihat terjadinya dekadensi moral pada generasi muda saat ini adalah merupakan cerminan moral dari para generasi tua-nya, tentu di samping dari efek globalisasi yang tidak bisa dipungkiri. Mengapa cerminan dari para generasi tua? Sebab berdasar teori sosiologi, setiap generasi muda akan meniru (bercermin) dari apa yang dilakukan oleh generasi tua-nya. Manakala moral generasi tua-nya rusak, maka rusak pula moral generasi muda-nya seperti yang terjadi sekarang ini. Maka dari itu sebelum menyalahkan para generasi muda, menurut hemat penulis lebih bijak bila para generasi tua pun mau instropeksi diri.
Penulis melihat selama ini kita hanya sibuk menyalahkan generasi muda yang mulai “bobrok” moral-nya, tanpa melihat dan menghayati factor-faktor yang menyebabkan-nya secara lebih bijak (seperti para mahasiswa Analisis Kebijakan Pendidikan UNY, hehe). Sebenarnya jika kita mau melihat lebih bijak, krisis moral yang melanda generasi muda kita saat ini, tidak bisa dilepaskan dari krisis “ketauladanan” di negeri ini. Penulis melihat Indonesia sekarang ini benar-benar sedang mengalami krisis “ketauladanan” yang bisa jadi ini-lah hulu dari aliran deras krisis multidimensi yang melanda bangsa akhir-akhir ini.
Tidak bisa dipungkiri kini Indonesia khususnya dalam bahasan ini para generasi muda sedang merindukan akan hadirnya sosok atau seorang tokoh manusia yang mampu menjadi suritauladan yang baik bagi mereka. Selama ini memang kita punya banyak tokoh-tokoh bangsa yang besar pengaruhnya terhadap generasi muda, seperti Soekarno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro, Tan Malaka, dst. Namun kini tokoh-tokoh bangsa kharismatik itu telah pergi. Dan sekarang penulis melihat generasi muda Indonesia butuh seorang tokoh bangsa yang kharismatik di zaman globalisasi ini.
Penulis melihat akibat dari “krisis kesuritauladanan” selama ini, membuat para generasi muda banyak yang merasa bingung terombang-ambing oleh zaman. Akhirnya mereka-pun mencontoh para tokoh-tokoh idola, mulai dari artis, pemain sepak bola, bintang-bintang film, tokoh-tokoh superhero, para penyanyi, anak band, dan tokoh-tokoh lain yang mereka kagumi. Memang bagus jika yang dicontoh hal-hal positif dari idola mereka itu, seperti kesuksesan dan keberhasilan-nya. Namun ironisnya kini banyak generasi muda yang meniru penuh hingga mengidentikkan diri mereka atas segala hal yang ada dan dilakukan oleh idola-nya itu. Mulai dari gaya berpakaian, gaya berjalan, cara bicara, dll. Yang dikhawatirkan banyak kalangan adalah manakala mereka menirukan idola yang tidak baik. Ini tentu akan membuat generasi muda menjadi tidak baik pula.
Rekomendasi atau solusi
Pada akhirnya krisis moral atau dekadensi moral generasi muda Indonesia merupakan tanggungjawab kita bersama. Tidak perlu saling melempar kesalahan, atau bahkan memvonis seseorang. Yang dibutuhkan saat ini yaitu sebuah solusi yang bijak. Solusi bijak yang dibutuhkan oleh generasi muda Indonesia saat ini, menurut hemat penulis yaitu “kesuritauladanan” yang baik dari para generasi tua serta pemimpin bangsa. Seperti kata pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maka dari itu perlu adanya kesadaran seluruh komponen dan elemen bangsa untuk mewujudkan sebuah kultur yang menekankan salah satu-nya pada “kesuritauladanan” yang baik.
Kesuritauladanan yang baik terhadap generasi muda sangat urgen, dan harus segera dibudayakan kembali dalam masyarakat kita. Mulai dari keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh artis (dunia hiburan), dunia pendidikan, hingga pemimpin bangsa harus aktif andil bagian dalam hal ini. Jangan ada lagi miss komunikasi dan jurang pemisah antara generasi muda dan generasi tua seperti yang terjadi sekarang. Dari analisa penulis, akhir-akhir ini nampaknya ada komunikasi yang putus antara generasi muda dan generasi tua. Penulis merasa ada hubungan yang kurang harmonis diantara keduanya. Mungkin ini karena masih adanya ego yang besar diantara “kubu muda dan kubu tua”.
Kini kebanyakan generasi muda enggan bergaul dan “srawung” atau belajar dari generasi tua, karena beranggapan bahwa generasi tua kurang “GAUL”, ribet, cenderung bertele-tele, tidak bebas, dsb. Sedangkan generasi tua pun kini agaknya kurang peduli terhadap tuntutan generasi muda. Generasi tua justru hanya memvonis generasi muda, yang sering kali menimbulkan masalah sosial selama ini. Meruntut akar permasalahannya, sebenarnya ini menunjukkan adanya ego di keduabelah pihak hingga tidak adanya komunikasi antara mereka. Maka dari itu perlu digalakkan kembali komunikasi yang intens antara generasi muda dan generasi tua.
Harus diakui generasi muda masih butuh banyak pembelajaran dari generasi tua pendahulu. Untuk itu generasi tua sebagai yang lebih berpengalaman harus aktif membimbing, mengarahkan, serta memberikan pengayoman kepada para generasi muda, dan tidak hanya memberikan vonis ataupun sumpah serapah. Akhirnya teriring kata “Bersatulah generasi muda dan generasi tua demi kebangkitan bangsa Indonesia, DEMI KEJAYAAN NKRI…!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar