Suatu ketika di sebuah sekolah “X” saya menjumpai sekelompok pelajar SMA yang rame-rame membolos saat jam mata pelajaran sedang berlangsung. Mereka justru enak-enakan nongkrong di depan warung kantin dan sekitar tempat rental game. Ada pula yang asyik menghisap rokok dengan santainya, seolah tidak menggubris gurunya yang sedang menerangkan di dalam ruangan kelas.
Beberapa hari kemudian mereka ketahuan guru BP dan langsung dipanggil untuk ditegur. Namun hebatnya tak ada raut wajah penyesalan sedikitpun yang terpancar dari ekspresi para siswa itu. Bahkan nampak seperti ada kebanggaan tersendiri bagi mereka karena berhasil membolos. Salah kok bangga!
Pada momen yang berbeda, saat sedang berkendara sepeda motor saya juga menjumpai kasus yang serupa, salah tapi bangga. Yakni kebiasaan oknum pengendara yang suka “sok-sokkan” menerabas lampu merah. Atau kebiasaan oknum pengendara sepeda motor yang suka “bergaya” nyalip sembarangan secara zig-zag kendaraan yang ada di depan/sampingnya tanpa memberikan kode. Kerap pula saya menjumpai kebiasaan para oknum sopir bus antar kota yang suka ngegas sambil mengepulkan asap knalpotnya yang hitam pekat saat merasa ada pengendara lain yang mencoba menyalipnya. Lagi-lagi, salah tapi bangga!
Di sisi lain, mungkin Anda pernah menyaksikan di media beberapa oknum pejabat yang diketarai melakukan tindakan korupsi. Namun justru mereka tiap hari dikawal dan bergonta-ganti pengacara. Ada pula yang jelas-jelas terbukti melakukan tindakan korupsi namun tetap berkilah dengan sejuta alasannya. Bahkan memutarbalikkan fakta semaunya. Begitulah di negeri ini, banyak kaum elit yang salah tapi tidak pernah merasa bersalah dan tidak mau disalahkan. Malah dengan bangganya tiap hari nongol di media cetak dan TV. Biar eksis, kilahnya. Ah lagi-lagi salah tapi bangga!
Fenomena “salah tapi bangga” kini semakin marak di negeri ini. Pelakunya pun mulai dari pelajar, masyarakat umum, hingga bahkan oknum pejabat. Sepertinya “salah” itu sesuatu yang wajar, dianggap sudah biasa, sepele, dst. Bahkan dicari-cari beribu alasan untuk menjadikan yang semestinya “salah” menjadi nampak benar.
Seolah-olah “kebenaran” itu dianggap culun, bodoh, munafik, tak berdaya, dst. Demi mengokohkan sebuah semboyan, “biar salah tapi mesti bangga!”.
Saya jadi berpikir, kalau kebiasaan berbuat salah menjadi budaya bangsa ini mau dibawa kemana negara kita? Bukankah bangsa ini adalah bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan?
Jangan biarkan bangsa ini dikuasai oleh budaya “preman” yang bangga akan kesalahannya!
Mari budayakan bersikap malu dan ksatria manakala kita melakukan kesalahan. Jangan bangga kalau salah, banggalah kalau engkau dengan ksatria berani mengakui atas kesalahanmu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar